Minggu, 21 Juni 2009

BISNIS & KEPEMILIKAN INDIVIDU

istem Ekonomi dalam Islam ditegakkan diatas tiga pilar utama, yakni konsep kepemilikan (al-milkiyah), pemanfaatan kepemilikan (al-thasharruf fi al-milkiyah) dan distribusi kekayaan diantara manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-naas).

Kepemilikan ini dibagi tiga, yakni (1) kepemilikan individu (milkiyatu al-fardiyah), yaitu kepemilikan atas izin syar’i pada seseorang untuk memanfaatkan harta itu lewat sebab-sebab kepemilikan harta yang diakui oleh syara’; (2) kepemilikan umum (milkiyatul al-‘amah), adalah harta yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari (api, padang rumput, sungai, danau, jalan, lautan, mesjid, udara, emas, perak dan minyak wangi.dsb) yang dimanfaatkan secara bersama-sama. Pengelolaan milik umum ini hanya dilakukan oleh negara untuk seluruh rakyat, dengan diberikan cuma-cuma atau dengan harga murah; dan (3) kepemilikan negara (milkiyatul al-daulah), harta yang pemanfaatannya berada ditangan seorang pemimpin sebagai kepala negara.

Misalnya harta ghanimah, fa’I, khumus, kharaf, jizyah, i/5 harta rikaz, ushr, harta orang murtad, harta orang yang tak memiliki ahli waris dan tanah hak milik negara.

Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban negara, seperti menggaji pegawai negara, keperluan jihad dan sebagai.
Kepemilikan individu adalah izin dari syara’ (Allah SWT) yang memungkinkan siapa saja untuk memanfaatkan dzat maupun kegunaan (utility) suatu barang serta memperoleh kompensasi – baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli – dari barang tersebut (AnNabhani, 1996; Yusanto, 1998). Setiap orang bisa memiliki barang atau harta melalui cara-cara tertentu, yang disebut sebab-sebab kepemilikan (asbabu al-tamalluk).

Pengkajian terhadap hukum-hukum syara’ menunjukkan bahwa sebab-sebab kepemilikan individu terdiri dari lima perkara, yakni:
• Bekerja (al-a'mal)
• Warisan (al-irts)
• Harta untuk menyambung hidup
• Harta pemberian negara (i'thau al-daulah)
• Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan daya dan upaya apapun.

Dalam konteks bisnis, dari kelima sebab di atas hanya sebab pertamalah yang dapat dikategorikan ke dalam kegiatan bisnis. Bekerja dalam pandangan Islam diarahkan dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Yakni untuk mendapatkan harta agar seseorang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, sejahtera dan dapat menikmati perhiasan dunia. Dan agar bernilai ibadah, maka pekerjaan yang dilakukan itu harus merupakan pekerjaan yang halal. Sehingga harta yang didapatnya juga merupakan harta yang sah atau halal karena melalui cara yang halal.
Wujud bekerja sangat luas, jenisnya bermacam-macam, bentuknya pun beragam. Hasilnya juga berbeda-beda. Secara umum, dapat dikategorikan dalam dua golongan aktivitas, yakni: (1) bekerja untuk mendapatkan harta (akhdu al-mal) dan (2) bekerja untuk mengembangkan harta (tanmiyatu al-mal). Keduanya berada dalam ranah aktivitas bisnis, baik dilakukan dalam bentuk usaha sendiri maupun dalam bentuk usaha bersama (syarikah).

Bekerja merupakan pengamalan dari perintah syariat Islam. Karenanya bila dilakukan dengan cara yang benar (halal) untuk mengerjakan sesuatu yang juga halal, bekerja bukan hanya akan menghasilkan harta tapi juga mendapatkan pahala dari
Allah SWT.

“Maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah anugerah dari Allah”
(QS Al Jumu’ah : 10)

Sekalipun demikian, satu hal yang harus dipahami oleh setiap muslim adalah bahwa rizki atau diperoleh tidaknya harta oleh seseorang sepenuhnya merupakan kekuasaan Allah. Harta yang dimiliki manusia pada hakekatnya adalah milik Allah (Q.S. 24: 33) yang diberikan atau diserahkan manfaatkan dan dikuasakan (Istikhlaf) kepada manusia (Q.S.57: 7). Makna rizki sendiri memang adalah a’tha (pemberian), dan manusia diwajibkan untuk mencari rizki. Tentang hal ini, manusia dituntut agar dapat menciptakan keadaan (al-hal) agar rizki itu datang serta memanfaatkannya melalui jalan yang benar dan bertanggung jawab. Inilah makna dari ungkapan al-rizqu bi yadillahi wahdahu (rizki di tangan Allah semata).

Bisa terjadi, seseorang sudah bekerja sekuat tenaga, misalnya membuka kantor konsultan lengkap dengan segala perangkat yang diperlukan, tapi dua bulan sudah berjalan tak satupun pekerjaan didapat. Sebaliknya, kadang tanpa diduga, di saat kita sebenarnya tidak terlalu siap, mengalir deras order dari berbagai tempat. Jadi, jelaslah bahwa bekerja hanyalah merupakan keadaan (al-hal) yang harus diusahakan agar “rizki di tangan Allah” tersebut datang. Dan datangnya pun tidak melulu melalui bekerja. Ada empat cara lainnya sebagaimana telah disebut di atas, di luar bekerja, yang memungkinkan datangnya rizki ke tangan kita.

Oleh karena itu, tiap muslim wajib mengusahakan perolehan harta secara halal sehingga menghasilkan kepemilikan yang benar menurut Islam (Hasan, 1999; Abdurrahman, 1999). Dengannya, bisnis penuh ‘berkat’ dan berkah benar-benar dapat diwujudkan. Insya Allah.

Dikutip dari buku
Menggagas Bisnis Islami, M. Ismail Yusanto & M. Karebet Widjajakusuma, Gema Insani

Sabtu, 06 Juni 2009

Mengemis Jabatan

Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. pernah berkata: “Demi Allah, sungguh aku ingin sekali bila jarak antara kami dengan urusan pemerintahan itu melebihi jarak dua kutub Timur dan Barat.” Adalah sebuah perkataan mulia yang juga merupakan nasihat kepada kita tentang bagaimana menyikapi aktivitas yang berhubungan dengan pelayanan terhadap umat, yakni urusan pemerintahan. Ternyata beliau begitu menginginkan agar sebisa mungkin jabatan untuk mengurusi kepentingan umat itu menjauh darinya. Karena beban yang harus dipikulnya teramat berat dan harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah di akhirat nanti.

Pernyataan yang seperti ini jarang ditemukan dalam aktivitas politik kita. Justru sebaliknya, banyak yang menginginkan jabatan di pemerintahan. Entah itu menjadi anggota dewan legislatif, menteri atau yang paling prestisius, yakni sebagai presiden. Sudah banyak pernyataan yang dilontarkan oleh beberapa tokoh politik kita, yang menginginkan untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Keinginan menjadi presiden sudah sangat lumrah dilontarkan oleh beberapa tokoh politik. Hal yang dulu sangat ditabukan itu telah menjadi pernyataan yang biasa di era reformasi. Terlepas dari apakah itu murni keinginannya atau ada yang mendorongnya, barangkali ada baiknya merenungkan kembali sabda Rasulullah saw yang menasihati kita berkaitan dengan urusan pemerintahan ini.
Kutip
Dari Abu Musa r.a. berkata: ’Aku dan dua orang lelaki dari anak cucu pamanku masuk ke tempat Nabi saw. Lalu salah seorang dari lelaki tersebut berkata: ‘Ya Rasulullah, angkatlah kami sebagai pengurus untuk mengurusi sebagian apa yang Allah serahkan pengurusannya itu kepadamu. Dan yang seorang lagi juga mengatakan seperti itu. Maka jawab Rasulullah saw.: ‘Demi Allah, sungguh kami tidak akan menyerahkan kepengurusan atas pekerjaan ini kepada seseorang yang memintanya, atau kepada seseorang yang sangat menginginkannya (ambisi).” (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)


‘Pernyataan’ Rasulullah tersebut bukan berarti bahwa beliau tidak ingin jabatannya direbut oleh orang lain. Juga bukan berarti tidak percaya kepada orang tersebut. Namun, Rasul juga punya alasan yang juga disampaikannya dalam sabdanya:“Barangsiapa meminta jabatan pengurus kaum muslimin hingga dapat, kemudian keadilannya mengalahkan kedzalimannya, maka ia akan masuk surga, dan siapa yang kedzalimannya mengalahkan keadilannya, maka dia akan masuk neraka.” (HR Abu Dawud). Jadi, harus hati-hati. Jangan hanya menuruti hawa nafsu semata.

Juga urusan meminta jabatan ini bukan hal yang sembarangan. Karena masalah pengurusan umat (rakyat) ini adalah masalah yang berat, maka selain harus diemban oleh orang-orang yang sholeh dan ikhlash tapi sekaligus kapabel.
Kutip
“Dan dari Abu Dzar, ia berkata: ‘Aku bertanya: ‘Ya Rasulallah, apakah engkau tidak mau mengangkat aku sebagai amil (pegawai)? Katanya selanjutnya: ‘Kemudian beliau menepuk pundakku seraya bersabda: ‘Wahai Abu Dzar, engkau adalah orang yang lemah, sedang kekuasaan itu adalah suatu amanat, dan sesungguhnya dia (kekuasaan) itu kelak di akhirat akan merupakan kerugian dan penyesalan, kecuali orang yang mendapatkannya itu dengan hak dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya.” (HR Ahmad dan Muslim dalam tarjamah kitab Nailul Authar jilid 6 halaman 3187)

Ini sekadar renungan saja. Ternyata, banyak dari kita yang gemar meminta jabatan, meskipun kadang jabatan yang kita inginkan tak sebanding dengan kemampuan kita untuk mengembannya. Dan, bisa lebih parah lagi jika kita memaksakan diri merebut jabatan atau mengemis jabatan sementara jabatan itu tekategori haram. Naudzubillah mindzalik.

Senin, 01 Juni 2009

How to Convert Islam

To convert to Islam and become a Muslim a person needs to pronounce the below testimony with conviction and understanding its meaning:

I testify “La ilah illa Allah, Muhammad rasoolu Allah.”

The translation of which is:

“I testify that there is no true god (deity) but God (Allah), and that Muhammad is a Messenger (Prophet) of God.”




When someone pronounces the testimony with conviction, then he/she has become a Muslim. It can be done alone, but it is much better to be done with an adviser.


The first part of the testimony consists of the most important truth that God revealed to mankind: that there is nothing divine or worthy of being worshipped except for Almighty God. God states in the Holy Quran:

“We did not send the Messenger before you without revealing to him: ‘none has the right to be worshipped except I, therefore worship Me.’” (Quran 21:25)

This conveys that all forms of worship, whether it be praying, fasting, invoking, seeking refuge in, and offering an animal as sacrifice, must be directed to God and to God alone. Directing any form of worship to other than God (whether it be an angel, a messenger, Jesus, Muhammad, a saint, an idol, the sun, the moon, a tree) is seen as a contradiction to the fundamental message of Islam, and it is an unforgivable sin unless it is repented from before one dies. All forms of worship must be directed to God only.

Worship means the performance of deeds and sayings that please God, things which He commanded or encouraged to be performed, either by direct textual proof or by analogy. Thus, worship is not restricted to the implementation of the five pillars of Islam, but also includes every aspect of life. Providing food for one’s family, and saying something pleasant to cheer a person up are also considered acts of worship, if such is done with the intention of pleasing God. This means that, to be accepted, all acts of worship must be carried out sincerely for the Sake of God alone.

The second part of the testimony means that Prophet Muhammad is the servant and chosen messenger of God. This implies that one obeys and follows the commands of the Prophet. One must believe in what he has said, practice his teachings and avoid what he has forbidden. One must therefore worship God only according to his teaching alone, for all the teachings of the Prophet were in fact revelations and inspirations conveyed to him by God.

One must try to mold their lives and character and emulate the Prophet, as he was a living example for humans to follow. God says:

“And indeed you are upon a high standard of moral character.” (Quran 68:4)

God also said:

“And in deed you have a good and upright example in the Messenger of God, for those who hope in the meeting of God and the Hereafter, and mentions God much.” (Quran 33:21)

He was sent in order to practically implement the Quran, in his saying, deeds, legislation as well as all other facets of life. Aisha, the wife of the Prophet, when asked about the character of the Prophet, replied:

“His character was that of the Quran.” (As-Suyooti)

To truly adhere to the second part of the Shahada is to follow his example in all walks of life. God says:

“Say (O Muhammad to mankind): ‘If you (really) love God, then follow me.’” (Quran 3:31)

It also means that Muhammad is the Final Prophet and Messenger of God, and that no (true) Prophet can come after him.

“Muhammad is not the father of any man among you but he is the Messenger of God and the last (end) of the Prophets and God is Ever All-Aware of everything.” (Quran 33:40)

All who claim to be prophets or receive revelation after Muhammad are imposters, and to acknowledge them would be tantamount to disbelief.

We welcome you to Islam, congratulate you for your decision, and will try to help you in any way we can