Minggu, 27 September 2009

Menjalankan Flash via Visual Basic 6

1. Buat satu project
2. Pilih Standard EXE

3. Klik kanan pada tab toolbox (yang sebelah kiri dari editor) atau tekan tombol ctrl+t, pilih Components.
4. Pada tab Controls pilih Shockwave Flash dengan cara menandai kotak
disamping kirinya, kemudian klik OK. Maka kontrol shockwave flash
akan ditambahkan pada tab tersebut

5. klik kontrol Shockwave Flash yang baru ditambahkan dan diletakkan
pada form yang diinginkan.

6. pada bagian kode, tambahkan baris berikut:
Private Sub Form_Load()
Dim strPath As String
'baris ini tergantung dari letak file flashnya
strPath = "D:\Projects\Flash\test\tutorial.swf"
ShockwaveFlash1.Movie = strPath
ShockwaveFlash1.Play
End Sub

7. run program



Kamis, 13 Agustus 2009

Lowongan Angkasa Pura

PT Angkasa Pura II (Persero), perusahaan pengelola jasa kebandarudaraan dan pelayanan lalu lintas udara di kawasan Barat Indonesia, mengundang Anda yang mempunyai semangat, integritas tinggi, ulet, dan kompeten untuk bergabung dan mengembangkan karir menjadi Tenaga PKWT untuk posisi:



Jenjang SLTA

1. Pelaksana Pengamanan Bandara (Aviation Security)
2. Pelaksana Pertolongan Kecelakaan Penerbangan – Pemadam Kebakaran/ PKP-PK (Fire Fighting & Rescue)

Jenjang Diploma

1. Pelaksana Apron Movement Control
2. Pelaksana Air Traffic Services -- ATC
3. Pelaksana Air Traffic Services -- AIS
4. Pelaksana Air Traffic Services -- FSO
5. Pelaksana Teknik Elektronika
6. Pelaksana Teknik Listrik Mekanikal & Peralatan (TLMP)
7. Pelaksana Teknik Umum
8. Personalia dan Umum -- Pelaksana Personalia
9. Personalia dan Umum -- Pelaksana Humas
10. Personalia dan Umum -- Arsiparis
11. Personalia dan Umum -- Perawat Umum dan Gigi
12. Keuangan dan Akuntansi
13. Pelaksana Komersial



PERSYARATAN UMUM :
A. Sumber Umum;

1. Batas usia:
* Usia minimal 18 tahun dan maksimal 22 tahun (lahir antara Agustus 1987 – Agustus 1991) bagi pelamar dengan pendidikan SLTA;
* Usia minimal 18 tahun dan maksimal 24 tahun (lahir antara Agustus 1985 – Agustus 1991) dengan pendidikan SLTA yang telah memiliki SKP/STKP (Surat Tanda Kecakapan Personil);
* Usia maksimal 24 tahun (lahir setelah Agustus 1985) bagi pelamar dengan pendidikan D2,;
* Usia maksimal 28 tahun (lahir setelah Agustus 1981) bagi pelamar dengan pendidikan D3/S1.
2. Belum menikah yang dinyatakan oleh pejabat yang berwenang, serendah-rendahnya oleh Lurah;
3. IPK minimal 2,75 (skala 4) bagi pelamar tingkat D2, D3 / S1;
4. Rata-rata nilai di STTB atau nilai Ujian Akhir Nasional adalah 7 bagi pelamar tingkat SLTA;
5. Berbadan sehat yang dinyatakan oleh Surat Dokter dan tidak berkacamata/contact lens untuk fungsi PAM, PKP-PK, ATS dan AMC;
6. Berkelakuan baik yang dinyatakan oleh Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
7. Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah kerja PT AP II;
8. Mengikuti seluruh tahapan seleksi.

B. Sumber Internal/Outsourcing

1. Merupakan karyawan dari perusahaan outsourcing di lingkungan PT Angkasa Pura II (Persero)/PT AP II;
2. Usia minimal 18 tahun maksimal 35 tahun (lahir antara Agustus 1991 – Agustus 1974);
3. IPK minimal 2,75 (skala 4) bagi pelamar tingkat D3/S1;
4. Berbadan sehat yang dinyatakan oleh Surat Dokter dan tidak berkacamata/contact lens untuk fungsi PAM, PKP-PK, ATS dan AMC;
5. Berkelakuan baik yang dinyatakan oleh Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
6. Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah kerja PT AP II;
7. Mengikuti seluruh tahapan seleksi



PERSYARATAN KHUSUS :

1. Pelaksana Pengamanan Bandara (Aviaton Security)
1. Pria/Wanita;
2. Pendidikan SLTA (Umum/Kejuruan);
3. Tinggi badan minimal 165 cm (untuk pria) dan 160 cm (untuk wanita);
4. Tidak buta warna dan tidak berkaca mata/contact lens.
2. Pelaksana Pertolongan Kecelakaan Penerbangan – Pemadam Kebakaran / PKP-PK (Fire Fighting & Rescue)
1. Pria;
2. Pendidikan SLTA (Umum/ Kejuruan Teknik);
3. Tinggi badan 165 cm;
4. Tidak buta warna dan tidak berkaca mata/contact lens.
3. Pelaksana Apron Movement Control / AMC
1. Pria;
2. Pendidikan D3 Teknik, Manajemen Operasi Bandar Udara, Penerbangan/Transportasi Udara, Administrasi;
3. Tinggi badan minimal 165 cm;
4. Tidak buta warna dan tidak berkaca mata/contact lens.
4. Pelaksana Air Traffic Services - ATC/AIS/FSO
1. Pria/Wanita;
2. Pendidikan D2 Pengatur Lalu Lintas Udara (RLLU) / D2 Pengatur Penerangan Aeronautika (RPA); D2 Pengatur Kompen (RKP/FSO), D3 PLLU, D3 PPA, dan memiliki SKP Junior ATC/AIS/FSO;
3. Tidak buta warna dan tidak berkaca mata/contact lens.
5. Pelaksana Teknik Elektronika;
1. Pria/Wanita;
2. Pendidikan D3 Teknik Elektronika/Navigasi Udara/Informatika;
3. Tidak buta warna.
6. Pelaksana Teknik Listrik Mekanikal & Peralatan / TLMP
1. Pria/Wanita;
2. Pendidikan D3 Teknik Listrik/Mekanikal (Elektro);
3. Tidak buta warna.
7. Pelaksana Teknik Umum
1. Pria/Wanita;
2. Pendidikan D3 Teknik Sipil;
3. Tidak buta warna.
8. Personalia & Umum
1. Pelaksana Personalia
1. Pria/wanita;
2. Pendidikan D3 Administrasi/Manajemen Informatika/Ilmu Sosial;
3. Tidak buta warna
2. Pelaksana Humas
1. Pria/wanita;
2. Pendidikan D3 Humas/Public Relation;
3. Tidak buta warna
3. Arsiparis
1. Pria/wanita;
2. Pendidikan SLTA dan telah mengikuti Pelatihan Arsiparis;
3. Pengalaman minimal 2 tahun di bidangnya;
4. Tidak buta warna.
4. Perawat Umum dan Gigi
1. Pria/wanita;
2. Pendidikan D3 Perawat Umum/Gigi;
3. Pengalaman 3 tahun di bidangnya;
4. Tidak buta warna.
9. Pelaksana Keuangan & Akuntansi
1. Diutamakan Pria;
2. Pendidikan D3 Manajemen Keuangan/Akuntansi/Perpajakan;
3. Tidak buta warna.
10. Pelaksana Komersial
1. Pria/Wanita;
2. Pendidikan D3 Ekonomi Manajemen/Administrasi/Ilmu Sosial;
3. Tidak buta warna.


KETENTUAN LAIN :

1. Untuk semua posisi, kecuali Pelaksana Pengamanan Bandara (AVSEC) dan Pertolongan Kecelakaan Penerbangan – Pemadam Kebakaran (PKP-PK) dengan lokasi seleksi KCU Bandara Soekarno-Hatta , aplikasi lamaran hanya melalui on-line . Tidak ada jalur lain yang digunakan untuk pengiriman lamaran
2. Untuk posisi Pelaksana Pengamanan Bandara (AVSEC) dan Pertolongan Kecelakaan Penerbangan – Pemadam Kebakaran (PKP-PK) dengan lokasi seleksi KCU Bandara Soekarno-Hatta, penerimaan lamaran menggunakan 2 (dua) jalur, yaitu secara online ATAU pendaftaran langsung . Pelamar hanya boleh menggunakan salah satu jalur pengiriman lamaran. Pendaftaran langsung dilakukan di Gedung Community Center Bandara Soekarno Hatta Pintu M1 mulai tanggal 18 Agustus 2009 – 22 Agustus 2009 pukul 09.00 – 17.00 WIB. Pelamar yang memilih menggunakan jalur pendaftaran langsung harus membawa semua dokumen yang dipersyaratkan (tercantum pada point Penting Untuk Dipersiapkan).
3. Bagi Pelamar yang pernah mengirimkan lamaran ke PT Angkasa Pura II (Persero) diwajibkan memperbaharui lamaran dengan tatacara ini.
4. Pelamar wajib memiliki alamat e-mail pribadi yang masih aktif untuk dapat mengikuti proses seleksi ini. Kami tidak melayani alamat e-mail yang salah input oleh pelamar.
5. Setelah mengisi formulir aplikasi dan mengirimkannya kembali secara on-line , pelamar akan mendapat konfirmasi registrasi . Konfirmasi tersebut berisi nomor registrasi yang akan digunakan selama proses seleksi. Anda tidak dapat menerima e-mail registrasi apabila alamat e-mail yang anda input salah dan atau sudah tidak aktif, sehingga anda tidak bisa log-in untuk pengumuman selanjutnya.
6. Pelamar hanya diperkenankan melakukan satu kali registrasi on-line. Untuk itu pastikan Anda telah menuliskan semua data dengan benar, sebelum menekan tombol KIRIM . Kami tidak melayani perbaikan data yang salah input oleh pelamar.
7. Pelamar wajib mengisi aplikasi dengan data/informasi yang sebenar-benarnya karena data ini akan diklarifikasi dengan benar saat pelaksanaan verifikasi dokumen.
8. Masa waktu registrasi on-lin e adalah 8 Agustus 2009 s/d 22 Agustus 2009.
9. Aplikasi yang masuk setelah batas akhir registrasi dan atau tidak melamar sesuai aturan dianggap tidak berlaku.
10. Keputusan hasil seleksi bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
11. Pada setiap tahapan seleksi, hanya pelamar yang dinyatakan lulus dapat masuk ke tahap seleksi berikutnya.
12. Proses rekrutmen dan seleksi ini tidak dikenakan biaya apapun .
13. Segala biaya transportasi dan akomodasi para pelamar menjadi tanggungan pribadi pelamar.
14. Pengumuman hasil seleksi administrasi dan pelamar yang berhak mengikuti seleksi selanjutnya dapat dilihat di website www.ppm-rekrutmen.com pada Senin , 31 Agustus 2009 , pukul 21.00 WIB.



PENTING UNTUK DIPERSIAPKAN :

1. Bagi Anda yang kemudian dinyatakan lolos seleksi administrasi, akan diminta hadir pada Tes Tahap I di lokasi dan waktu yang tercantum di bawah dengan membawa dokumen dan kelengkapan sebagai berikut :
1. Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku, asli dan fotocopy
2. Fotocopy ijazah yang sesuai dengan persyaratan pendidikan dan telah dilegalisir oleh pejabat berwenang
3. Fotocopy transkrip nilai yang telah dilegalisir oleh pejabat berwenang
4. Fotocopy sertifikat keahlian lainnya yang relevan
5. Fotocopy akte kelahiran dari instansi berwenang
6. Data Riwayat Hidup yang harus didownload dari website www.ppm-rekrutmen.com setelah Anda log in, data riwayat hidup yang telah diisi diserahkan dalam bentuk print out *
7. Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dari Kepolisian
8. Surat Keterangan Sehat dari Dokter
9. Kartu Peserta Seleksi yang harus didownload dari website www.ppm-rekrutmen.com setelah Anda log in. Mohon dilengkapi dan ditempel foto, kemudian dibawa dalam bentuk print out pada setiap tahapan tes *
10. Pas Foto Berwarna ukuran 4 x 6 berlatar belakang merah sebanyak 2 lembar
11. Surat Pernyataan keabsahan dokumen yang harus didownload dari website www.ppm-rekrutmen.com setelah Anda log in, surat pernyataan yang telah diisi dan ditandatangani di atas materai diserahkan dalam bentuk print out *
12. Surat Pernyataan bersedia ditempatkan di seluruh wilayah kerja PT AP II yang harus didownload dari website www.ppm-rekrutmen.com setelah Anda log in, surat pernyataan yang telah diisi dan ditandatangani di atas materai diserahkan dalam bentuk print out *
13. Surat Keterangan Belum Menikah dari pejabat yang berwenang serendah-rendahnya dikeluarkan oleh Lurah (khusus untuk pelamar umum);
14. Surat Referensi dari perusahaan outsorcing saat ini (khusus untuk pelamar internal/outsourcing)
15. Alat tulis: pensil 2B, bolpoint, dan penghapus

(*) Bagi pelamar posisi Pelaksana Pengamanan Bandara (Avsec) dan Pertolongan Kecelakaan Penerbangan – Pemadam Kebakaran (PKP-PK) dengan lokasi seleksi KCU Bandara Soekarno Hatta yang memilih menggunakan jalur pendaftaran langsung, lembar formulir akan diberikan di tempat pendaftaran. Nomor registrasi akan diberikan di lokasi pendaftaran.
2. Seluruh berkas dimasukkan ke dalam map folio
1. Warna biru untuk pelamar umum
2. Warna merah untuk pelamar internal/outsourcing

Tuliskan nama dan nomor registrasi Anda pada map tersebut.
3. Mohon mempersiapkan seluruh dokumen dengan lengkap dan benar. Jika ditemukan ketidaklengkapan dokumen dan/atau ketidaksesuaian data pada dokumen dengan berkas lamaran, Anda akan dinyatakan gugur pada Tes Tahap I


RANGKAIAN KEGIATAN SELEKSI :

1. Seleksi Administrasi
2. Tes Fisik khusus untuk posisi Pelaksana Pengamanan Bandara ( Avsec), Pelaksana Pertolongan Kecelakaan Penerbangan – Pemadam Kebakaran ( PKP-PK), dan Pelaksana Apron Movement Control
3. Tes Pengetahuan Umum/Substansial dan Bahasa Inggris
4. Tes Psikologis
5. Tes Kesehatan
6. Wawancara Akhir



Lokasi tes : Jakarta dan Medan
Waktu tes : diberitahukan lebih rinci pada saat pengumuman per tahap

untuk info lebih lanjut dan juga form pendaftaran lamaran kerja ada di link http://www.ppm-rekrutmen.com/angkasapura/


Sabtu, 25 Juli 2009

Hadits Ahad

BAB I
‘AQIDAH ISLAMIYYAH


'Aqidah Menurut Pengertian Bahasa (Literal)
Secara literal, ‘aqidah berasal dari kata ‘aqada yang bermakna al-habl, al-bai’, al-‘ahd (tali, jual beli, dan perjanjian).
Kata al-‘aqiidah, al-‘ilm, al-yaqiin, dan al-iiman bermakna sama. Kata al-yaqiin bermakna al-‘ilmu. Menurut istilah, yaqiin memiliki arti, “menyakini sesuatu dengan keyakinan bahwa sesuatu yang diyakininya itu tidak mungkin berbeda dengan keyakinannya. Sebab, keyakinannya sesuai dengan kenyataan yang tidak mungkin berubah.”

Imam Ibnu Mandzur menyatakan, "Tokoh ahli bahasa Azujaj, mendefinisikan iman dengan, “Sikap ketundukan, kepatuhan, dan kesediaan untuk menerima syari'at Islâm.” Sikap ini harus terefleksi pula dalam menerima apa-apa yang disampaikan Rasulullah saw (sunnah). Sunnah harus diyakini dan dibenarkan di dalam hati. Siapa saja yang bersikap seperti itu, dan menyakini bahwa melaksanakan suatu kewajiban itu merupakan keharusan tanpa ragu-ragu lagi, maka hakekatnya ia adalah seorang mukmin dan Muslim yang keimanannya tidak ragu-ragu lagi. Allah swt berfirman, "....dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar..."

Makna iman adalah tashdiq (pembenaran). Dalam kitab al-Tahdzib, disebutkan bahwa iman berasal dari kata amana - yu'minu- îmânan, yang artinya membenarkan. Ahli bahasa sepakat bahwa iman bermakna tashdiq (pembenaran).
Lawan dari yaqin, ‘ilmu, dan iiman adalah dzan. Menurut bahasa, dzan bermakna tahammuh (prasangka/dugaan).
Imam Zamakhsyariy berkata, “Bi’r dzannuun: la yutsaaq bi maa’iha.[Sumur yang meragukan adalah sumur yang airnya tidak bisa dipercaya]; rajul dzannuun: la yutsaaq bi khabarihi [laki-laki yang meragukan adalah laki-laki yang beritanya tidak bisa dipercaya].”

'Aqidah Dalam Tinjauan Istilah
Menurut istilah, kata I’tiqad (keyakinan) bermakna, tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan bukti).
Imam al-Nasafiy, berpendapat, "Îman adalah pembenaran hati sampai pada tingkat kepastian dan ketundukan."
Imam Ibnu Katsir menjelaskan,"Îman yang telah ditentukan oleh syara' dan diserukan kepada kaum Muslimîn adalah berupa i’tiqâd (keyakinan), ucapan, dan perbuatan. Inilah pendapat sebagian besar Imam-imam madzhab. Bahkan, Imam Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal,dan Abu Ubaidah menyatakan, pengertian ini sudah menjadi suatu ijma'. (kesepakatan)".

Imam Nawawi, menyatakan, "Ahli Sunnah dari kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan ahli kalam, telah sepakat bahwa seseorang dikategorikan Muslim apabila orang tersebut tergolong sebagai ahli kiblat (melakukan sholat). Ia tidak kekal di dalam neraka. Ini tidak akan didapati kecuali setelah orang itu mengimani dienul Islâm di dalamnya hatinya, secara pasti tanpa keraguan sedikitpun, dan ia mengucapkan dua kalimat syahadat."

Imam al-Ghazali, menyatakan,"Îman adalah pembenaran pasti yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya."
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, "Aqidah adalah sudut pandang yang harus diimani pertama kali, sebelum mengimani yang lain, dengan keimanan yang tidak disusupi keraguan, dan tidak dipengaruhi oleh kesamaran. Secara tabi'iy, 'aqidah ditetapkan berdasarkan nash-nash yang jelas (qath'iy) yang jumlahnya sangat banyak (mutawatir)..".


BAB II
JALAN PENETAPAN AQIDAH


Kepastian Harus Dibangun di Atas Dalil Yang Pasti
Pada dasarnya, aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil 'aqliy dan naqliy. Hanya saja, para ulama sendiri berbeda pendapat dalam menilai kehujjahan dalil 'aqliy dan naqliy dalam masalah 'aqidah.
Professor Mahmud Syaltut di dalam bukunya, Islam: 'Aqidah wa Syari'ah menyatakan, para ‘ulama telah sepakat, bahwa dalil ‘aqliy yang didasarkan pada penginderaan atau dlaruriy menghasilkan keyakinan, dan absah dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Dengan kata lain, akal merupakan asas paling mendasar untuk menetapkan pokok-pokok aqidah Islam. Adapun pokok-pokok aqidah yang dibuktikan berdasarkan akal adalah; iman terhadap eksistensi Allah swt, kenabian Mohammad saw, dan iman bahwa al-Quran adalah kalamullah .

Sedangkan dalil-dalil naqliyyah, sebagian besar ulama berpendapat bahwa ia tidak menghasilkan keyakinan, tidak menghasilkan keimanan yang telah digariskan oleh syariat, dan tidak absah dijadikan hujjah untuk menetapkan ‘aqidah. Alasannya, dalil-dalil naqliy masih membuka ruang sangat luas bagi kesamaran-kesamaran (kenisbian).
Ulama yang berpendapat dalil naqliy bisa digunakan hujjah dalam ‘aqidah, mensyaratkan kepastian dalam sumber (qath'iy wurud) dan penunjukkannya (qath'iy dilalah).

Yang dimaksud qath’iy wurud (pasti sumbernya) adalah kepastian dari sisi sumbernya. Artinya, dalil tersebut benar-benar pasti berasal dari Rasulullah saw tanpa ada kesamaran (syubhat) sedikitpun. Dalil naqliy yang bisa memenuhi persyaratan ini hanyalah dalil-dalil yang diriwayatkan secara mutawatir. Sedangkan dalil-dalil yang diriwayatkan secara ahad tidak bisa memenuhi persyaratan ini, alias tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara-perkara aqidah .

Yang dimaksud dengan qath’iy dilalah adalah kepastian dari sisi maknanya. Dengan kata lain, makna yang ditunjukkan oleh dalil tersebut pasti, dan tidak membuka ruang adanya penafsiran atau makna ganda.
Persyaratan ini hanya bisa dipenuhi oleh dalil-dalil yang tidak membuka ruang adanya penafsiran; yaitu, dalil naqliy yang hanya menunjuk kepada satu makna saja, dan tidak menunjuk kepada dua makna atau lebih. Bila makna yang terkandung dalam sebuah dalil masih membuka ruang adanya penafsiran, atau mengandung dua makna atau lebih, maka dalil-dalil semacam ini tidak bisa digunakan hujjah dalam perkara ‘aqidah.

Jika sebuah dalil memenuhi dua persyaratan di atas, maka ia menghasilkan keyakinan, dan layak dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Contohnya, ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang tauhid, risalah, hari akhir, kenabian dan kerasulan Mohammad saw, kitab suci, kafirnya orang yang menyatakan paham trinitas, serta hal-hal yang berhubungan dengan ushul al-diin.

Dalil-dalil tersebut, sumber dan maknanya bersifat pasti (qath’iy wurud dan dalalah). Sebab, selain ditetapkan melalui riwayat mutawatir, ayat-ayat tersebut hanya menunjukkan satu makna saja, dan tidak membuka ruang bagi penafsiran yang beragam. Dalam perkara-perkara semacam inilah kaum Muslim tidak boleh berbeda pendapat. Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah yang telah qath'iy baik tsubut dan dilalahnya akan menjatuhkan seseorang pada kekafiran. Allah swt berfirman, artinya:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.”[Muhammad:19]

زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
"Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah..”[al-Taghabun:7]

قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
“Katakanlah,”Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Mengetahui tentang segala makhluk.”[Yaasiin:79]

ءَامَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
"Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at". (Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". [al-Baqarah:285]

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَءَاتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." [al-Baqarah:177]

Adapun perkara-perkara yang sumbernya tidak qath’iy, atau sumbernya qath’iy akan tetapi maknanya (dalalahnya) samar dan masih diperdebatkan oleh para ‘ulama, maka perkara-perkara tersebut tidak termasuk bagian dari perkara ‘aqidah yang membawa implikasi kekufuran atau keimanan. Perkara-perkara semacam ini sangatlah banyak jumlahnya, dan terus diperselisihkan di kalangan ‘ulama. Misalnya, masalah “melihat Allah swt dengan mata”, “Sifat-sifat tambahan yang dilekatkan pada Dzat Allah, pelaku dosa besar, kehadiran Imam Mahdiy, Dajjal, turunnya Nabi Isa as, siksa kubur, letak surga yang dihuni Nabi Adam as, dan lain sebagainya.
Imam Mawardi, dalam tafsirnya menyatakan,”Ada dua pendapat tentang surga yang dihuni Adam as. Pertama, ia adalah surga abadi.

Kedua, ia merupakan surga yang disediakan Allah swt untuk Adam dan Hawa sebagai tempat ujian, bukan surga abadi sebagai Daar al-Jazaa’ (negeri pembalasan). Pendapat yang terakhir ini terbagi menjadi dua; (1) surga ini terletak di langit. Mereka beralasan, bahwa Allah menurunkan Adam dan Hawa dari surga. Pendapat ini dipegang oleh Imam Hasan. Imam Bahr berpendapat, bahwa surga ini terletak di bumi. Alasannya, Allah hendak menguji keduanya di bumi dengan cara melarang mereka memakan buah khusus .

Imam Ibn al-Khathib, dalam tafsirnya mengatakan, bahwa para ‘ulama berbeda pendapat tentang surga yang dihuni Nabi Adam dan Hawa. Ia terletak di langit ataukah di bumi? Sekiranya di terletak di langit, apakah ia surga abadi yang disediakan sebagai balasan amal? Atau, apakah ia surga yang lain? Abu al-Qasim al-Balkhi dan Abu Muslim al-Ashbahani berkata, “Surga dihuni Adam ini terletak di dunia”. Pendapat ini juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Pendapat lain menyatakan, bahwa surga yang dihuni Nabi Adam as terletak di langit tujuh. ‘Ulama lain berpendapat, bahwa surga tersebut adalah negeri pembalasan (daar al-jazaa’). Ini merupakan pendapat mayoritas ‘ulama. Pendapat lain menyatakan, bahwa semua pendapat itu sama-sama mungkin, karena dalilnya saling bertentangan dan tidak pasti.
Imam Abu Zaid al-Maliki berkata, bahwa ia bertanya kepada Imam Abu Nafi’, apakah surga itu makhluk? Imam Nafi’ menjawab, “Diam dalam masalah ini lebih baik.”
Para ‘ulama juga berbeda pendapat dalam hal melihat Allah swt dengan mata (pandangan) di hari kiamat. Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa manusia akan melihat Allah swt di hari akhir. Mereka mengajukan dalil-dalil sebagai berikut:


لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya." [Yunus:26] Menurut sebagian ulama, maksud dari pecahan kata “..dan tambahannya..” adalah kenikmatan melihat Allah swt.

إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ(22)عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُونَ
“Sesungguhnya, orang yang berbakti itu benar-benar dalam kenikmatan yang besar. Mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang.”[al-Muthaffifiin:22-23]

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ(22)إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah orang mukmin pada hati itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”[al-Qiyamah:22-23]
Akan tetapi, sebagian ulama tidak sepakat dengan pendapat ini. Mereka menyatakan, bahwa manusia tidak akan melihat Allah swt . Mereka berargumentasi dengan mengetengahkan firman Allah swt yang menafikan adanya ru’yat al-Allah.

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” [al-An’am:103]
Nash-nash seperti ini tidak absah digunakan dalil untuk membangun perkara-perkara ‘aqidah yang membawa implikasi iman dan kufur. Seorang Muslim yang berpendapat bahwa Allah bisa dilihat di hari akhir, tidak boleh menjatuhkan predikat kafir kepada saudaranya yang berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat di hari akhir. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalalah (makna) yang ditunjukkan oleh nash-nash tersebut tidak qath’iy (dzanniy dilalah).

Pada dasarnya, perbedaan pendapat dalam masalah-masalah semacam ini (furu' 'aqidah) lahir, tatkala di tengah-tengah kaum Muslim bermunculan pemikiran-pemikiran, kelompok-kelompok, dan aliran-aliran ilmu kalam. Kelompok ini terus berdebat dan berdiskusi untuk mempertahankan pendapat mereka masing-masing. Perdebatan dan diskusi mereka memasuki dalam wilayah 'aqidah. Akhirnya, perkara-perkara ‘aqidah dijadikan obyek ijtihad yang menyebabkan mereka berselisih dan berbeda pendapat. Masing-masing kelompok dan aliran mengetengahkan pendapat dan pemikirannya dengan disertai dalil-dalil naqliy yang mendukungnya. Akibatnya, muncullah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu' 'aqidah.

Dalam kondisi semacam ini, seorang Muslim mesti toleran, dan tidak boleh menjatuhkan predikat kafir kepada saudaranya yang berseberangan pendapat dengan dirinya.

Namun demikian, banyak perkara ‘aqidah yang seluruh kaum Muslim bersepakat dan tidak berselisih pendapat di dalamnya. Misalnya, seluruh kaum Muslim sepakat bahwa Allah swt suci dari kekurangan, dan disifati dengan seluruh kesempurnaan. Ini adalah keyakinan pasti yang diimani oleh seluruh kaum Muslim, dan tidak pernah diperselisihkan oleh para ‘ulama. Perbedaan pendapat terjadi tatkala mereka membahas perkara-perkara yang berhubungan Allah swt. Misalnya, apakah Allah swt wajib berbuat yang terbaik bagi hambaNya? Apakah manusia yang menciptakan sendiri perbuatan-perbuatan ikhtiyariyah? Apakah maksiyat yang dilakukan oleh seorang hamba telah dikehendaki Allah?

Kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa, Allah wajib berbuat yang terbaik bagi hambaNya, manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri, dan Allah tidak menghendaki kemaksiyatan. Kelompok lain berpendapat, bahwa Allah tidak wajib berbuat yang terbaik untuk hambaNya, Allah adalah pencipta perbuatan manusia, dan Allah swt menghendaki kemaksiyatan.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa seluruh kelompok tersebut tidak berbeda pendapat dalam masalah sucinya Allah dari kekurangan (ketidaksempurnaan). Mereka juga sepakat bahwa Allah disifati dengan kesempurnaan. Sebab, keyakinan terhadap kesucian Allah dari sifat lemah dan ketidaksempurnaan, merupakan keyakinan pasti yang tidak membuka ruang bagi adanya perbedaan penafsiran. Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal, “Apakah perkara ini dan itu termasuk kekurangan, sehingga Allah tidak mensifati diriNya dengan sifat itu; dan apakah perkara ini dan itu bukan termasuk kekurangan Allah, sehingga Allah mensifati dirinya dengan sifat itu?
Menurut Mahmud Syaltut, di dalam kitab-kitab Tauhid telah dirinci perkara mana yang disepakati oleh para ‘ulama, dan mana yang masih diperselisihkan; serta dalil-dalil naqliy yang dijadikan sandaran argumentasi masing-masing pihak.
Atas dasar itu, jalan untuk menetapkan masalah-masalah ‘aqidah haruslah mudah dan diketahui oleh seluruh manusia, Jalan tersebut tidak boleh hanya diketahui sebagian orang saja.

Sebab, ‘aqidah adalah pokok agama (ushul al-diin) yang menjadikan seseorang menyandang predikat Muslim atau kafir. Seandainya jalan untuk menetapkan keimanan hanya diketahui oleh sebagian orang saja, niscaya banyak orang yang sulit untuk memperoleh predikat mukmin; sebab, ia tidak mengetahui jalan untuk mendapatkan keimanan. Contohnya adalah ilmu mantiq dan logika yang digunakan oleh ahli filsafat sebagai jalan untuk mendapatkan keimanan. Jalan seperti ini adalah jalan salah yang bertentangan dengan manhaj berfikir yang benar. Sebab, tidak semua orang menguasai ilmu manthiq dan logika. Jika untuk mendapatkan keimanan, seseorang harus menguasai ilmu mantiq terlebih dahulu, tentunya orang yang tidak menguasai ilmu manthiq tidak akan pernah bisa memperoleh keimanan dengan jalan yang benar? Kalaupun ia menyandang gelar mukmin, maka keimanannya pasti didapatkan dari jalan taqlid. Padahal, jalan semacam ini (taqlid dalam masalah ‘aqidah) dilarang oleh syara’.
Agar metode untuk mendapatkan iman tersebut, benar-benar bisa dimengerti oleh seluruh umat manusia, maka perkara-perkara ‘aqidah tersebut tidak boleh diperselisihkan, atau masih menjadi bahan perbincangan di kalangan ‘’ulama, dalam hal penetapan dan penafiannya.

Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kebanyakan masyarakat awam tidak mampu menjangkau argumentasi-argumentasi para ‘ulama, jika perkara-perkara ‘aqidah tersebut masih dalam perselisihan dan perdebatan. Keadaan ini akan membuka ruang yang sangat lebar bagi adanya taqlid dalam perkara ‘aqidah. Padahal, taqlid dalam perkara ‘aqidah adalah sesuatu yang diharamkan. Sebab, banyak orang awam yang tidak memahami dalil dan argumentasi masing-masing ‘ulama. Lantas, bagaimana ia bisa menyakini perkara-perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya?

Perbedaan Yang Mengharamkan Takfir dan Tadlliil
Pada dasarnya, perbedaan pendapat yang terjadi di antara kelompok-kelompok Islam dalam masalah ru’yatullah, kehadiran Dajjal, siksa kubur, letak surga yang dihuni Nabi Adam as, dan lain-lain, tak ubahnya dengan perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh dalam masalah-masalah furu’. Sebab, tidak ada satupun nash qath’iy yang bisa dijadikan hujjah untuk masalah-masalah tersebut. Atas dasar itu, perbedaan pendapat dalam masalah-masalah itu masih dalam kategori perbedaan yang diperbolehkan (ikhtilaaf tanawwu’). Sebuah perbedaan yang mengharamkan seseorang untuk mencap saudaranya telah keluar dari jalan yang lurus (kafir), sesat, fasik, atau telah mengingkari masalah-masalah agama.

Sayangnya, fanatisme madzhab telah membawa kaum Muslim pada sikap-sikap tercela dan jauh dari tuntunan Islam. Akhirnya, dengan sangat mudah, mereka mencap saudara seimannya dengan cap kafir, fasiq, dan sesat. Padahal, mereka berselisih pada perkara-perkara yang masih mengandung kesamaran, bukan berselisih pada perkara-perkara yang pasti.

Semua ini disebabkan karena, kaum Muslim telah terpuruk dan teperosok dalam kemerosotan berfikir. Kemerosotan berfikir kaum Muslim telah menjatuhkan mereka pada sikap-sikap tercela dan bodoh. Akibatnya, perpecahan, perselisihan, dan permusuhan di kalangan kaum Muslim tidak bisa dihindari lagi. Sekali lagi, semua ini diakibatkan karena kebodohan dan ketergesa-gesaan mereka dalam bersikap dan berpendapat.

Kesalahan Metodologi Ilmu Kalam; Filsafat Bukan Jalan Penetapan Aqidah
Sesungguhnya, ilmu kalam (ilmu mantiq) yang diadopsi dari pemikiran Yunani bukanlah metodologi berfikir yang benar. Lebih dari itu, metodologi berfikir ilmu kalam sama sekali tidak mengasilkan satupun pemikiran, akan tetapi ia hanya menghasilkan konklusi premistik belaka. Padahal konklusi premistik tidak bisa disebut sebagai pemikiran. Sedangkan benar tidaknya konklusi yang dihasilkan dari premis-premis yang disusun pada kaedah-kaedah logika, sebenarnya tidak ditentukan oleh premis-premis, atau kaedah-kaedah logika itu sendiri, akan tetapi ditentukan oleh metode berfikir rasional.

Dimana, dalam menentukan benar tidaknya sebuah natijah (kesimpulan), metode berfikir rasional ini tidak bertumpu pada premis, akan tetapi bertumpu kepada pengamatan fakta dan informasi sebelumnya. Ini menunjukkan, bahwa kebenaran premis-premis dan natijah dalam kaedah-kaedah mantiq tidak ditentukan oleh premis dan susunan premisnya, akan tetapi ditentukan oleh metode berfikir lain, yakni metode berfikir rasional. Dengan kata lain, kebenaran premis dan konklusi harus didasarkan pada asas penginderaan terhadap fakta, bukan didasarkan pada premis dan susunan premisnya. Adapun kesalahan metodologi berfikir ilmu kalam dapat diringkas sebagai berikut;

Pertama; dalam menentukan kesimpulan-kesimpulannya, metode ini bersandar kepada asas mantiq (logika), bukan bersandar kepada penginderaan. Akibatnya, metode berfikir mantiq (kalam) berpeluang menimbulkan kesalahan, meskipun metode berfikir ini telah mensyaratkan kebenaran premis-premisnya serta susunan-susunan premisnya. Sebab, kebenaran kesimpulan (natijah) ditetapkan berdasarkan kebenaran premis dan kesesuaiannya dengan susunan logikanya, dan bukan disandarkan pada indera secara langsung. Kadang-kadang, kesalahan kesimpulan disebabkan karena kesalahan premis-premisnya. Kesalahan premis di sini bukan diakibatkan karena ketidaksesuaiannya dengan realitas terindera.
Oleh karena itu, natijah yang dihasilkan dari metodologi berfikir mantiq tidak bisa diyakini kebenarannya, sampai fakta membuktikan kebenarannya. Jika kesimpulannya (konklusi) bertentangan dengan fakta, meskipun kesimpulan itu didasarkan pada premis dan susunan logika yang benar, maka kesimpulan itu harus ditolak dan dianggap salah. Sebab, kesimpulan tersebut telah bertentangan dengan fakta. Semua ini menunjukkan, bahwa yang wajib diakui kebenarannya adalah kesimpulan yang didasarkan pada fakta terindera, bukan kesimpulan yang didasarkan pada kebenaran-kebenaran premis dan susunan premis semata.

Untuk itu, metodologi berfikir mantiq yang hanya bertumpu pada kebenaran premis dan susunannya, bukanlah asas berfikir yang benar. Bahkan, ia sendiri tidak bisa menetapkan kebenaran dari premis dan kesimpulannya. Yang menetapkan benar atau tidaknya suatu premis dan kesimpulan adalah penginderaan, bukan premis maupun susunan premisnya itu sendiri.

Contohnya, premis pertama menyatakan, "Al Qur’an kalam Allah yang tersusun dari huruf-huruf yang rapi dan berkesinambungan". Premis kedua menyatakan, "Setiap kalam yang tersusun dari huruf-huruf yang rapi dan berkesinambungan adalah muhdats (diciptakan diadakan). Natijah dari kedua premis itu adalah, " al Qur’an adalah muhdats dan makhluk". Susunan premis-premis tersebut telah menghasilkan suatu natijah yang tidak dapat dijangkau oleh indera. Padahal, akal tidak bisa membahas dan menetapkan sesuatu yang berada diluar jangkauan inderanya. Atas dasar itu, kesimpulan yang dihasilkan dari susunan premis tersebut hanyalah dugaan atau perkiraan semata, bukan realita sesungguhnya.
Lebih-lebih lagi, masalah yang diperbincangkan terkategori perkara yang akal dilarang untuk membahasnya. Sebab, pembahasan mengenai masalah ini –al-Quran Makhluk atau tidak-- termasuk dalam pembahasan sifat Allah. Sedangkan sifat Allah, seperti halnya Dzat Allah, tidak boleh dibahas oleh akal secara langsung, bagaimanapun caranya. Bahkan, jika kita menggunakan metode berfikir yang sama, kita juga bisa membuat kesimpulan yang bertentangan dengan kesimpulan di atas. Contohnya, premis pertama dinyatakan, "al Qur’an adalah kalam Allah dan ia adalah sifat bagiNya". Premis kedua menyatakan, "Segala sesuatu yang merupakan sifat Allah itu adalah Qadim". Kesimpulan dari dua premis ini adalah, "Al-Quran itu adalah Qadim (kekal) bukan makhluk". Hal ini menunjukkan, bahwa metodologi berfikir kalam (mantik) membuka ruang seluas-luasnya bagi adanya konklusi-konklusi yang saling bertentangan dan kontradiktif dalam satu permasalahan yang sama. Lebih dari itu, metodologi berfikir mantik (kalam) telah menghasilkan sejumlah kesimpulan yang aneh, ganjil, dan bertentangan dengan fakta.

Fakta di atas menunjukkan, bahwa kebenaran premis dan konklusi, harus didasarkan pada penginderaan terhadap realitas, bukan berdasarkan premis dan susunan premis saja. Berarti, jika premis-premis dan konklusinya berkesesuaian dengan fakta, yakni benar menurut fakta yang ada, maka konklusinya adalah benar. Sebab, lebenaran premis-premis dan natijahnya didasarkan kepada realitas bukan berdasarkan premis dan susunan premis-premis semata. Hanya saja, metodologi berfikir mantiqiy tidak menggunakan urutan-urutan berfikir seperti ini. Dalam menentukan hakekat kebenaran sesuatu, metodologi berfikir mantiqiy (kalam) hanya memperhatikan premis dan susunan premis. Jika premis-premis dan susunan premisnya benar, maka konklusinya juga dianggap benar. Padahal, bila kita amati realitas berfikir mantiqiy, kita akan mendapati kenyataan berikut ini.
(1) Kadang-kadang ada premis yang diduga termasuk bagian dari sesuatu, padahal dalam kenyataannya ia tidak termasuk bagian dari sesuatu itu. Contohnya; premis pertama menyatakan, "Penduduk Spanyol bukan Muslim.", premis kedua menyatakan, "Setiap negeri yang penduduknya bukan Muslim bukanlah negeri Islam." Konklusinya adalah, "Negeri Spanyol bukanlah negeri Islam." Konklusi semacam ini adalah konklusi yang salah, walaupun premis, susunan premis, dan konklusinya dianggap benar menurut metodologi berfikir mantiqiy. Padahal, kesimpulan semacam ini jelas-jelas salah dikarenakan bertentangan dengan fakta sesungguhnya.

Kesalahan konklusi tersebut disebabkan karena kesalahan premis kedua. Sebab, suatu negeri layak disebut sebagai negeri Islam, tidak didasarkan pada agama penduduknya, tetapi didasarkan pada hukum yang diterapkan di negeri tersebut dan jaminan keamanannya. Jika hukum yang diterapkan di negeri itu adalah hukum Islam, dan jaminan keamanannya ditanggung oleh kaum Muslim, maka negeri itu disebut sebagai negeri Islam, walaupun seluruh penduduknya beragama non Islam. (2) kadang-kadang ada premis umum yang hanya mencakup partikular-partikularnya, namun tidak mencakup partikular yang lain; sehingga jika ada premis yang dianggap berkesesuaian dengan partikular tersebut, maka keseluruhannya juga dianggap berkesesuaian. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Misalnya, premis pertama menyatakan, "Abu Sofyan pernah melihat dan berkumpul dengan Rasulullah saw." Premis kedua menyatakan, "Setiap orang yang melihat dan berkumpul dengan Rasulullah saw adalah shahabat". Konklusinya, "Abu Sofyan adalah Shahabat." Berdasarkan metodologi berfikir mantiqiy, natijah semacam ini adalah benar.

Padahal, kesimpulan semacam ini bertentangan dengan realitas. Seandainya kesimpulan itu dianggap benar, niscaya Abu Lahab juga termasuk dari shahabat, sebab ia telah bertemu dan berkumpul bersama Rasulullah saw. Sebab, seseorang dianggap Shahabat jika ia telah bergaul intens dan mengikuti majelis beliau selama 1 hingga 2 tahun, dan turut berperang bersama Rasulullah saw, satu atau dua kali. (3) Kadang-kadang ada premis yang dzahirnya dianggap benar, padahal realitasnya adalah salah. Akibatnya, premis ini dianggap benar, padahal ia salah. (4) Kadang-kadang kesimpulan (konklusi) yang dihasilkan dari premis-premis itu benar, padahal, premis-premisnya adalah salah; sehingga, kebenaran sebuah konklusi dianggap memastikan pula kebenaran premis-premisnya. Padahal, premis-premisnya jelas-jelas salah. Misalnya, premis pertama dinyatakan,"Setiap negara yang memiliki pendapatan ekonomi tinggi adalah negara maju." Premis kedua dinyatakan, "Amerika adalah negara yang memiliki pendapatan ekonomi tinggi." Kesimpulannya, "Amerika adalah negara maju." Kesimpulan ini benar jika dinisbahkan kepada negara Amerika. Namun, salah satu premisnya tidak benar, yaitu, premis pertama.

Sebab, negara yang memiliki pendapatan ekonomi tinggi belum tentu disebut negara maju. Tetapi, sebuah negara disebut negara maju diukur dari ketinggian berfikirnya, bukan pendapatan ekonominya semata. Ini menunjukkan, bahwa ada premis yang sebenarnya salah, tetapi menghasilkan konklusi yang benar.

Kenyataan di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa metodologi berfikir mantiq (kalam) tidak layak dijadikan pegangan untuk menentukan hakekat kebenaran sesuatu. Sebab, dalam menentukan hakekat kebenaran sesuatu, metodologi berfikir mantiq hanya menyandarkan kepada premis dan susunan premis semata. Padahal, kenyataan di atas telah menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa adanya premis dan susunan premis tidak menjamin benar tidaknya sebuah kesimpulan; bahkan kebenaran premis itu sendiri. Yang layak dijadikan pegangan untuk menentukan kebenaran adalah realitas yang bisa ditangkap oleh indera, bukan premis dan susunan premisnya semata.

Kedua, metodologi berfikir mantiq digunakan untuk membahas perkara-perkara yang berada di luar jangkuan indera manusia; yakni digunakan untuk membahas sesuatu yang ada di luar alam semesta, manusia, dan kehidupan. Dengan kata lain, metode berfikir ini juga membahas obyek-obyek yang sampai kapanpun tidak bisa didekati oleh akal manusia. Ahli ilmu Kalam membahas perkara-perkara metafisika, Dzat Allah, dan Sifat-sifatNya, sesuatu yang tidak bisa indera. Mereka mencampuradukkan perkara-perkara metafisika dengan perkara-perkara yang bisa diindera. Mereka melakukan analogi antara hal-hal yang tidak bisa diindera dengan hal-hal yang bisa diindera. Artinya, mereka menganalogkan Allah dengan manusia; kemudian mewajibkan Allah swt dengan sejumlah sifat yang dipahami oleh manusia di dunia. Misalnya, mereka mewajibkan adanya sifat adil kepada Allah seperti adilnya manusia. Mereka juga mewajibkan Allah untuk melakukan perbuatan yang mengandung kemashlahatan; sebagian lagi bahkan mengharuskan Allah untuk berbuat lebih mashlahat. Alasannya, Allah itu bersifat bijaksana dan tidak melakukan suatu perbuatan kecuali karena hikmah tertentu; dan sebagainya.

Inilah yang menjadikan mereka berkecimpung untuk membahas hal yang tidak bisa diindera, dan tidak mungkin bisa ditetapkan kebenarannya melalui akal manusia. Akhirnya, mereka terjatuh kepada kesalahan demi kesalahan, akibat metode berfikir mereka yang rusak. Mereka lupa, bahwa akal hanya mampu menjangkau hal-hal yang bisa diindera oleh manusia, dan ia tidak mampu menjangkau hal-hal yang berada di luar jangkauan inderanya, misalnya, Dzat Allah, Sifat Allah, dan lain-lain. Sedangkan sesuatu yang tidak bisa diindera tidak bisa dianalogkan dengan sesuatu yang bisa diindera.

Misalnya, keadilan Allah tidak bisa dianalogkan dengan keadilan manusia. Selain itu, Allah tidak boleh ditundukkan dengan peraturan-peraturan alam semesta ini. Sebab, Dia yang menciptakan alam ini, dan Allahlah yang mengaturnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diciptakanNya. Di sisi yang lain, pemahaman manusia terhadap sesuatu kadang-kadang berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan pemahamannya. Jika pemahaman manusia masih sempit, tentunya ia akan memahami keadilan secara sempit pula. Dalam kondisi semacam ini, ia akan memahami keadilan Allah juga secara sempit.
Namun, jika pemahamannya telah berkembang dan berubah menjadi luas, maka pemahaman dirinya terhadap keadilan pun juga akan berubah dan berkembang. Ini membawa sebuah konsekuensi pada perubahan persepsi terhadap keadilan Allah juga. Lantas, bagaimana mungkin kita bisa menganalogkan Tuhan semesta alam yang ilmuNya meliputi segala sesuatu dengan manusia, seraya melekatkan sifat adil kepadaNya dengan keadilan yang kita persepsi?

Adapun kemaslahatan dan kemaslahatan yang lebih, semua itu lahir dari persepsi mereka terhadap keadilan. Padahal, sebagaimana masalah keadilan, persepsi manusia terhadap kemashlahatan juga berkembang dan berubah sesuai dengan tingkat persepsinya. Jika pandangannya terhadap mashlahat masih sempit, tentunya ia juga akan sempit dalam mempersepsi kemashlahatan yang harus diperbuat oleh Allah. Sebaliknya, jika persepsi tentang kemashlahatan berkembang, niscaya persepsi dirinya terhadap kemashlahatan yang harus diperbuat Allah juga berkembang alias berubah. Lalu, bagaimana kita bisa menyatakan bahwa Allah wajib melakukan perbuatan yang memberikan mashlahat menurut persepsi manusia; padahal, pada saat yang sama, manusia telah berbeda pendapat dalam menentukan sesuatu itu mashlahat atau tidak. Seandainya kita menobatkan akal sebagai penentu hukum terhadap sesuatu, maka akan kita melihat kenyataan, bahwa Allah telah melakukan suatu perbuatan yang menurut akal kita tidak mengandung kemaslahatan sedikitpun.

Kemaslahatan apa yang terdapat dalam penciptaan Iblis dan setan dan penciptaan kekuatan kepada mereka untuk menyesatkan manusia? Kenapa Allah memanjangkan umur iblis sampai hari kiamat serta mewafatkan Saiyyidina Muhammad Saw ? Apakah yang demikian itu lebih maslahat dalam penciptaan? Kenapa Allah menghapus hukum-hukum Islam dimuka bumi ini, dan mengangkat hukum-hukum kufur serta merendahkan kaum Muslim, dan menjadikan musuh-musuh menguasai mereka? Apakah yang demikian itu lebih maslahat bagi hamba-hambaNya?

Seandainya kita mengkaji seluruh perbuatan, lalu perbuatan tadi kita analogkan dengan akal dan pemahaman kita terhadap makna kemaslahatan dan lebih maslahah, tentunya, kita tidak akan pernah menemukan kecocokan. Atas dasar itu, kita tidak boleh menganalogkan Allah dengan manusia dan mewajibkan sesuatu kepada Allah. Allah swt berfirman;
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai”.[al-Anbiyaa': 23]
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. [al-Syura:11]

Ketiga, metode berfikir mantiq (kalam) memberikan kebebasan kepada akal untuk membahas semua perkara, baik yang bisa diindera maupun yang tidak bisa diindera secara langsung. Hal ini secara pasti menyebabkan akal membahas sesuatu yang sejatinya ia sendiri tidak mungkin mampu memberikan penilaian atas perkara tersebut. Akibatnya, ahli kalam membahas hal-hal yang masih bersifat asumtif, dugaan, dan khayalan. Mereka berargumentasi dengan hal-hal yang bersifat asumtif yang kadang-kadang ada wujudnya, kadang-kadang tidak ada wujudnya sama sekali. Metode berfikir ini telah memberikan implikasi yang cukup pelik; yakni kemungkinan untuk mengingkari sesuatu yang sebenarnya wujud, atau menyakini sesuatu yang sebenarnya tidak wujud. Contohnya, mereka –dengan metode berfikir kalam ini-- membahas Dzat Allah dan Sifat-sifatnNya. Diantara mereka ada yang berpendirian, bahwa Sifat Allah sama dengan Dzat Allah sendiri. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa Sifat Allah berbeda dengan Yang Disifati (Dzat Allah). Mereka juga membahas tentang Ilmu Allah swt.

Sebagian berpendapat, bahwa Ilmu Allah menyingkap perkara-perkara ma'lum (diketahui) yang berada di atas cakupan PengetahuanNya. Sedangkan perkara-perkara yang ma'lum itu terus berubah dari awal hingga akhir. Allah mengetahui sehelai daun akan jatuh, meskipun daun itu belum jatuh. Allah swt berfirman:
“dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula)”. [al-An’aam: 59]
Dengan kata lain, ilmu Allah mampu menyingkap sesuatu; sebelum sesuatu itu terjadi, sekaligus mengetahui bahwa sesuatu itu akan terjadi. Ia mengetahui sesuatu, jika dalam IlmuNya sesuatu itu akan terjadi, dan Dia mengetahui ketiadaan sesuatu, jika dalam IlmuNya sesuatu itu tidak ada. Lantas, bagaimana Ilmu Allah bisa berubah mengikuti perubahan sesuatu yang wujud? Jika Ilmu Allah bisa berubah dengan perubahan sesuatu yang wujud, ini berarti bahwa, PengetahuanNya bersifat muhdats (baru). Padahal, Allah swt tidak bertindak dengan sesuatu yang bersifat muhdats (baru alias tidak azali). Sebab, sesuatu yang berhubungan dengan perkara-perkara yang muhdats (tidak azali), berarti sesuatu itu juga tidak azali. Jika demikian, apakah berarti Ilmu Allah juga tidak azali? Sebagian ahli kalam menjawab masalah ini dengan jawaban, "Sesungguhnya, pengetahuan kita tentang Zaid akan mendahului kita, berbeda dengan pengetahuan kita, bahwa Zaid memang telah mendahului kita secara faktual. Perbedaan ini disebabkan karena ilmu yang kita miliki selalu berkembang, dari yang awalnya tidak tahu menjadi tahu --setelah sesuatu itu benar-benar terjadi. Hanya saja, hal ini terjadi pada diri manusia, yang pengetahuannya selalu berkembang dan diperbarui. Sebab, sumber pengetahuan manusia, yakni penginderaan dan pemahamaan, senantiasa berkembang dan berubah. Sedangkan Ilmu Allah tidak seperti ilmu manusia. Tidak ada perbedaan antara Pengetahuan Allah swt bahwa sesuatu itu akan terjadi, dengan PengetahuanNya bahwa sesuatu itu telah terjadi secara faktual. Semua maklumat (informasi) jika dinisbahkan kepada Allah (Ilmu Allah) tetap berada dalam satu keadaan." Sedangkan ahli kalam yang lain menjawab, "Allah swt mengetahui dengan DzatNya apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi. Semua informasi (maklumat) adalah informasi bagi Allah dengan IlmuNya yang sama.

Sedangkan perbedaan antara sesuatu yang akan terjadi dengan sesuatu yang telah terjadi dikembalikan kepada perubahan yang terjadi pada "sesuatu itu sendiri", bukan dikembalikan kepada perubahan Ilmu Allah."
Pada dasarnya, seluruh kajian di atas adalah kajian terhadap sesuatu yang tidak bisa diindera, dan tidak bisa diputuskan oleh akal secara langsung. Untuk itu, akal tidak diperkenankan untuk membahasnya. Sayangnya, metode berfikir ilmu kalam telah menjadikan mereka mengkaji masalah-masalah yang sebenarnya tidak termasuk dalam wilayah jangkauan akal. Mereka telah membuat asumsi-asumsi terhadap sesuatu dengan pengasumsian yang tidak berdasar. Contohnya, sebagian ahli kalam telah mempersepsi Iradah Allah (Kehendak Allah) dengan KehendakNya ketika seorang hamba hendak mengerjakan suatu perbuatan. Artinya, Allah swt merupakan Pihak yang menciptakan perbuatan seorang hamba berdasarkan kemampuan dan kehendak hamba tersebut. Dengan kata lain, perbuatan itu terjadi bukan karena kesanggupan dan kehendak seorang hamba, tetapi tetap karena kehendak Allah berdasarkan kehendak dan kesanggupan manusia.
Sesungguhnya, pendapat semacam ini muncul akibat kekeliruan metodologi berfikir yang mereka gunakan, yakni metodologi berfikir ilmu kalam. Sebab, mereka telah membahas sesuatu yang berada di luar jangkauan akal manusia. Akhirnya, mereka membuat asumsi-asumsi terhadap suatu fakta yang tidak bisa diindera. Akibatnya, mereka terjatuh ke dalam kesalahan dan kekeliruan yang sangat fatal. Anehnya, mereka menetapkan pendapat-pendapat mereka ini sebagai pendapat yang mutlak diyakini kebenarannya.

Padahal, pendapat mereka lahir dari asumsi-asumsi yang tidak berdasar sama sekali. Mereka memberikan kebebasan kepada akal kebebasan untuk membahas masalah-masalah yang tidak bisa diindera dan dijangkau oleh akal secara langsung.
Keempat; metodologi berfikir ilmu kalam telah menjadikan akal sebagai dasar untuk mengkaji seluruh masalah keimanan. Akibatnya, mereka menjadikan akal sebagai asas untuk memahami al-Quran, bukan menjadikan al-Quran sebagai asas bagi berfikir. Akhirnya, mereka menafsirkan al-Quran berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh akal mereka; misalnya, pensucian mutlak, kebebasan berkehendak, keadilan, melakukan keadilan yang lebih maslahah dan lain-lain. Tidak hanya itu saja, mereka juga menjadikan akal sebagai pemutus untuk mengkompromikan ayat-ayat yang tampak kontradiksi. Mereka juga menjadikan akal sebagai hakim untuk menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat serta menta’wil ayat-ayat yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip berfikir yang mereka anut.

Akibatnya, mereka menjadikan ta’wil sebagai metode untuk menafsirkan al-Quran. Pada dasarnya, metodologi berfikir seperti ini, diakui atau tidak telah dianut oleh mu’tazilah, ahlu sunnah, dan jabariyah. Pasalnya, mereka telah menafsirkan al-Quran berdasarkan prinsip-prinsip yang telah mereka tetapkan, seperti kasb al-ikhtiyariy, pensucian mutlak, keadilan, dan lain sebagainya. Metodologi berfikir semacam ini telah mengakibatkan kesalahan baik dalam yang berkaitan dengan aspek pembahasannya, maupun obyek yang dibahas. Sekiranya mereka menjadikan al-Quran sebagai asas pembahasan, niscaya mereka tidak akan terjatuh ke dalam kekeliruan.
Memang benar, beriman kepada Al-Quran harus didasarkan pada akal semata. Hanya saja, ketika kita telah mengimani al-Quran, maka kita wajib menjadikan al-Quran sebagai asas untuk berfikir dan mengimani sesuatu. Bukan sebaliknya, menjadikan akal sebagai asas untuk memahami al-Quran. Oleh karena itu, ayat-ayat al Qur’an harus dimaknai berdasarkan konteks ayat itu sendiri, bukan dimaknai berdasarkan akal pikiran kita.

Dalam kondisi semacam ini, akal hanya berfungsi untuk memahami saja. Sebaliknya, para ahli ilmu kalam telah menjadikan akal sebagai asas untuk memahami al-Qur’an. Akhirnya, mereka terjatuh pada penakwilan-penakwilan yang sejatinya maknanya justru bertentangan dengan kandungan isi al-Qur’an.

Kelima; para ahli kalam menjadikan perbedaan pendapat di kalangan filosof sebagai asas berfikir mereka. Mu’tazilah mengadopsi pemikiran filsafat Epikurisme untuk membangun prinsip dan pendapat-pendapat mereka. Sedangkan Jabariyyah dan Ahlu Sunnah muncul untuk menjawab pendirian-pendirian Mu'tazilah. Hanya saja, mereka juga mengambil pendapat-pendapat para filosof untuk menolak pendirian kelompok Mu'tazilah. Padahal, yang menjadi topik perbincangan adalah Islam, bukan perbedaan pendapat, baik perbedaan pendapat di kalangan filosof, maupun perbedaan pendapat dengan selain filosof. Harusnya, mereka mengkaji apa yang telah disebutkan di dalam al-Quran dan Sunnah dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Sunnah sendiri, serta membatasi diri pada kajian-kajian yang hanya menjadi cakupan keduanya, tanpa memandang lagi pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh para filosof Yunani. Akan tetapi, mereka tidak melakukan hal ini. Akibatnya mereka telah mengalihkan dakwah Islam dan pembahasan 'aqidah Islam ke arah diskusi dan debat yang justru mematikan ruh 'aqidah; dan menggantikannya dengan debat kusir yang justru memadamkan cahaya Islam yang ada di dalam hati mereka.
Inilah beberapa kesalahan metode berfikir ilmu kalam yang ditempuh oleh para ahli kalam. Cara berfikir semacam ini telah memberikan pengaruh yang sangat mengerikan bagi Islam dan kaum Muslim.

Benar, metode berfikir ilmu kalam telah mengubah aqidah Islam sebagai wahana da’wah kepada Islam agar seluruh umat manusia dapat memahami Islam, menjadi ilmu-ilmu akademik tak ubahnya ilmu nahwu, sharaf, dan lain sebagainya. Aqidah Islam, yang dahulu menjadi motivasi tertinggi bagi kaum Muslim untuk menghancurkan kekufuran dan kesyirikan, serta mampu menjadi spirit kaum Muslim untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia justru telah ditempatkan menjadi ilmu yang terus dijadikan lahan perdebatan dan diskusi yang justru mematikan spiritnya. Meskipun, Islam tidak melarang kita untuk menciptakan metodologi berfikir atau ilmu alat yang bisa dipakai untuk memahami ajaran Islam, akan tetapi, yang tidak boleh –jika dinisbahkan kepada aqidah islamiyah— adalah metodologi berfikir dan ilmu alat itu justru memadamkan aktivitas da’wah dan ruh ajaran Islam. Oleh karena itu, kita sebagai seorang Muslim wajibn menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai asas dalam berfikir dan mempersepsi sesuatu.

Selanjutnya, kita wajib menyampaikan seluruh ajaran Islam kepada umat manusia, agar mereka mau bisa memahami ajaran Islam dengan benar, serta rela masuk ke dalam agama Islam.
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kita wajib berpaling dari metodologi berfikir ilmu kalam (ilmu mantiq) dan harus kembali kepada metodologi berfikir yang berasaskan al-Qur’an semata. Sedangkan akal hanya ditempatkan untuk memahami nash, serta fakta-fakta yang bisa diindera saja, tidak lebih.

Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan beberapa point berikut ini.
1. Dalil yang membangun masalah-masalah ‘aqidah harus qath'iy tsubut (pasti sumbernya) dan dilalahnya (pasti penunjukkannya). Perkara-perkara aqidah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qath'iy tsubut dan dilalahnya, misalnya; keberadaan Allah swt, adanya malaikat, Rasul dan Nabi, Kitab Suci, hari akhir, taqdir, berakhirnya kenabian setelah Mohammad saw wafat, orang kafir pasti masuk neraka, Islam adalah agama paripurna, dan lain-lain. Dalam perkara-perkara semacam ini tidak boleh ada perbedaan pendapat diantara kaum Muslim. Sebab, perkara-perkara semacam ini telah ditetapkan berdasarkan nash-nash yang qath'iy tsubut dan dilalah; sehingga tidak membuka ruang bagi interpretasi ganda. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah semacam ini. Siapa saja yang menyimpang dari perkara tersebut, berarti telah keluar dari Islam alias kafir.

2. Jika dalil-dalilnya tidak qath’iy, dan para ‘ulama berbeda pendapat di dalamnya, maka perkara-perkara tersebut tidak boleh dikategorikan sebagai bagian dari perkara ‘aqidah yang bisa menjatuhkan seseorang ke dalam kekafiran. Seseorang tidak boleh menyakini bahwa salah satu pendapat di antara pendapat-pendapat tersebut pasti benarnya, sedangkan yang lain pasti salahnya. Sebab, salah dalam perkara ‘aqidah akan menjatuhkan seseorang kepada kekafiran. Perkara-perkara semacam ini tidak terkategori ushul 'aqidah (pokok 'aqidah), akan tetapi dimasukkan dalam perkara furu' al-'aqidah (cabang aqidah). Contohnya, perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai melihat Allah kelak di surga, keberadaan surga yang ditempati Nabi Adam as dan surga yang kelak akan dihuni oleh kaum Muslim, dan lain sebagainya. Masalah-masalah seperti ini masih diperdebatkan oleh ulama-ulama kaum Muslim. Oleh karena itu, kaum Muslim tidak boleh mengkafirkan saudaranya yang Muslim, karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah semacam ini.

3. Sesungguhnya, kebanyakan kitab tauhid tidak membahas masalah-masalah ushul ‘aqidah (masalah 'aqidah yang tidak diperselisihkan oleh kaum Muslim). Sebaliknya, kebanyakan buku tauhid justru membahas masalah-masalah 'aqidah yang masih diperdebatkan oleh kaum Muslim. Biasanya, buku-buku tauhid hanya membahas beberapa pendapat dan pemikiran yang mengupas makna dzahir dari suatu nash, yang selanjutnya dijadikan lahan ijtihad oleh para ‘ulama. Oleh karena itu, masalah-masalah yang dibahas di dalam kitab Tauhid terkategori dalam furu' al-'aqidah (cabang 'aqidah) yang membuka ruang selebar-lebarnya bagi perbedaan pendapat. Dengan kata lain, perkara-perkara semacam ini terkategori dalam perkara khilafiyyah yang kaum Muslim boleh berbeda pendapat, dan tidak boleh saling mengkafirkan dan menfasiqkan satu dengan yang lain.

BAB III
'ILMU WA DZAN


Pada dasarnya, terminology ilmu dan dzan digunakan untuk menggambarkan derajat (tingkat) kebenaran yang dikandung suatu dalil. Ilmu digunakan untuk mendiskripsikan tingkat kebenaran yang mencapai derajat kepastian dan keyakinan; misalnya, dalil-dalil yang disandarkan pada bukti-bukti inderawi. Contohnya, penciptaan alam semesta, kenabian Mohammad saw, al-Quran Kalamullah, matahari bersinar, pergantian musim, sirkulasi udara, manusia mengalami kematian, makhluk hidup membutuhkan nutrisi, dan lain sebagainya. Tingkat kebenaran yang terkandung dalam statement "matahari bersinar", telah mencapai derajat kepastian (keyakinan). Sebab, statemen ini bukan sekedar statemen yang memiliki arti, akan tetapi kebenarannya telah terbukti berdasarkan dalil inderawi yang tak bisa diingkari oleh siapapun. Begitu pula dengan adanya pergantian musim; masalah ini telah mencapai derajat kepastian dan keyakinan. Sebab, realitas inderawi telah membuktikan kebenarannya dengan sangat jelas dan pasti.
Adapun dzan, ia digunakan untuk mendiskripsikan tingkat kebenaran yang belum mencapai derajat kepastian, alias masih mengandung kemungkinan salah. Hanya saja, bukti yang membenarkannya sangat kuat, bahkan hampir-hampir mencapai derajat keyakinan dan kepastian. Misalnya, kesaksian yang disodorkan seseorang kepada seorang qadliy atas kasus tertentu. Kesaksian tersebut, walaupun menyakinkan bagi saksi –orang yang menyaksikan dan terlibat dalam kasus itu secara langsung--, namun, bagi hakim, kesaksian yang disampaikan saksi tidak mencapai derajat kepastian, akan tetapi hanya sekedar dzan belaka. Sebab, hakim tidak memiliki bukti yang menyakinkan, hingga ia harus menyakini kesaksian saksi seratus persen. Berbeda dengan saksi, ia memiliki bukti inderawi yang menyakinkan, hingga ia menyakini apa yang ia lihat dan saksikan. Atas dasar itu, seorang hakim tidak harus memutuskan perkara berdasarkan kesaksian saksi, akan tetapi berdasarkan persangkaan kuatnya.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa, perkara-perkara yang mengharuskan adanya keyakinan dan kepastian, harus dibangun berdasarkan bukti-bukti yang menyakinkan (ilmu). Sebaliknya, perkara-perkara yang tidak membutuhkan keyakinan dan kepastian, tidak harus dibangun berdasarkan bukti-bukti yang menyakinkan. Perkara aqidah misalnya, ia mewajibkan adanya kepastian dan keyakinan. Oleh karena itu, tidak semua dalil absah dijadikan hujjah untuk membangun aqidah. Dalil yang absah digunakan untuk berhujjah dalam perkara-perkara aqidah haruslah dalil yang tingkat kebenarannya mencapai derajat kepastian dan keyakinan. Sebab, aqidah memang menuntut adanya kepastian dan kebenaran 100%. Sedangkan dalil-dalil dzanniyyah tidak absah digunakan untuk berhujjah dalam masalah aqidah. Pasalnya, dalil-dalil dzanniyyah tidak menghasilkan ilmu (keyakinan). Akan tetapi, dalil-dalil dzanniyyah absah digunakan hujjah dalam perkara hukum syariat. Sebab, seorang Muslim boleh berbuat berdasarkan dalil-dalil dzanniy.

Ilmu dan Dzan Dalam Al-Quran
Al-‘Ilmu sering diartikan dengan iman atau yakin . Iman sendiri bermakna pembenaran (tashdiiq) pasti yang berkesesuaian dengan fakta dan dibangun berdasarkan dalil . Keyakinan hati yang tidak sampai ke derajat kepastian, tidak absah disebut sebagai iman. Keyakinan semacam ini disebut dengan al-dzan. Allah swt berfirman;
"Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akherat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai pengetahuan (al-ilmu) tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan sesungguhnya persangkaan itu (al-dzan) tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran." (al-Najm : 27-28)
"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama da isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.." (Al-baqarah : 230)
"dan karena ucapan mereka:" Sesungguhnya kami telah membunuh Al- Masih, 'Isa putera Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya, dan tidak pula menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan 'Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) 'Isa, benar-benar dalam keraguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan , tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa". (Al-Nisaa' : 157)
Di dalam al-Quran, kata al-'ilmu kadang-kadang bermakna al-qath'iy (pasti) dan al-yaqiin (yakin). Penyebutan kata al-'ilmu dengan makna al-dzan (prasangka kuat) sangatlah sedikit. Allah swt berfirman;
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan (al-'ilm) tentangnya..." (al-Isra' : 36)
"..Maka jika kamu telah mengetahui (al-'ilm) bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. (al-Mumtahanah : 10)
Kata al-‘ilm pada ayat-ayat di atas bermakna al-dzan (prasangka kuat).
Kata al-dzan bisa juga bermakna al-wahm (dugaan tanpa dasar). Al-Quran telah menyatakan hal ini dalam surat Al-najm ayat 28;
"Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedangkan sesungguhnya persangkaan itu (al-dzan) tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran." (Al-Najm : 28)
Kadang-kadang al-dzan juga bermakna al-qath'i dan al-yaqiin. Allah swt berfirman;
"(yaitu) Orang-orang yang menyakini (yadzunnuun), bahwa mereka akan menemui Tuhan-Nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (al-Baqarah : 46)
Al-dzan kadang bermakna tarjiih (prasangka kuat). Allah swt berfirman,"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama dari isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.." (Al-Baqarah : 230)
Al-dzan dengan makna al-wahm (sangkaan ilutif) tidak boleh dijadikan dalil dalam perkara keyakinan (al-'aqaaid), dan hukum syara'. Orang yang mengatakan bahwa malaikat itu berjenis kelamin perempuan, sesungguhnya, perkataan mereka itu tidak didasarkan pada dalil, ataupun syubhah dalil. Mereka tidak memiliki bukti apapun kecuali sekedar persangkaan saja. Jenis al-dzan semacam ini (al-wahm) tidak membawa kebenaran sedikitpun baik dalam masalah keyakinan ('aqaaid) maupun hukum syara’.
Al-dzan yang berma'na tarjiih al-ra'yi (pendapat kuat) absah digunakan dalil dalam persoalan hukum syara', namun tidak untuk masalah 'aqidah. Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah swt;
"…jika keduanya berpendapat (in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah" [2:230].
Ayat ini berbicara mengenai kasus seorang laki-laki yang menthalaq tiga isterinya. Jika laki-laki tersebut ingin kembali kepada isterinya kembali, maka isterinya harus menikah dengan laki-laki lain terlebih dahulu. Jjika suami kedua menceraikannya, barulah ia boleh kembali kepada isterinya yang pertama. Allah swt telah menyatakan ketetapan ini dengan sangat jelas, "..jika keduanya berpendapat (in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah" [2:230].
Suami boleh ruju’ kembali dengan isterinya, meskipun pelaksanaan ruju’ tersebut didasarkan pada dzan (prasangka kuat); dan ruju’ merupakan bagian dari hukum syara’. Ini menunjukkan bahwa, dalam melaksanakan hukum-hukum syara’, tidak harus didasarkan pada al-‘ilm (keyakinan), akan tetapi cukup didasarkan pada al-dzan (prasangka kuat) saja.
Walaupun dalil dzanniy absah digunakan hujjah dalam masalah syariat, akan tetapi, ia tidak absah digunakan hujjah dalam masalah 'aqidah. Ketentuan semacam ini sejalan dengan kisah diangkatnya Nabi Isa as yang termuat dalam surat al-Nisaa':157.
Ayat itu menjelaskan bahwa orang-orang yang menyangka 'Isa as telah tertawan, dibunuh, dan disalib, memiliki bukti yang sangat kuat. Persangkaan mereka bukan sekedar wahm. Sebab, mereka menyaksikan 'Isa as berada di dalam rumah bersama murid-muridnya, sedangkan para tentara telah mengepung rumah itu. Kemudian, Allah menyerupakan salah seorang muridnya seperti beliau as. Akan tetapi, tanpa sepengetahuan para tentara, Allah mengangkat nabi 'Isa as ke atas langit. Ketika para tentara memasuki rumah dan menangkap orang yang berada di dalam rumah, mereka menyangka bahwa orang yang diserupakan dengan Isa, adalah 'Isa as. Mereka menangkap orang yang diserupakan 'Isa as tersebut, dan menyalibnya hingga mati. Peristiwa ini disaksikan oleh khalayak ramai, sekaligus merupakan bukti kuat bagi orang yang menyangka bahwa Isa as telah tersalib.
Namun, bukti yang mereka sodorkan tidak sampai kepada keyakinan, bahkan mengandung keraguan dilihat dari dua sisi. Pertama, penyerupaan itu tidak sempurna. Wajah orang yang diserupakan Isa itu, adalah wajah 'Isa as, akan tetapi, tubuhnya bukan tubuh 'Isa as. Kedua, bahwa jumlah orang yang bersama Isa as di dalam rumah berkurang satu. Padahal, di dalam rumah itu terdapat 13 orang, 'Isa as dan 12 muridnya. Akan tetapi, tatkala para tentara masuk ke dalam rumah, mereka tidak mendapatkan kecuali 12 orang laki-laki. Karena ada perbedaan pada wajah dan jumlah, timbullah keraguan. Persoalan itu akhirnya jatuh dari derajat yakin inderawiy ke derajat dzan.
"Mereka tidak mempunyai keyakinan , tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka". (Al-Nisaa' : 157).
Dzan semacam ini tidak boleh digunakan dalil dalam masalah 'aqidah (keyakinan), walaupun dalil tersebut rajih (kuat). Dengan kata lain, 'aqidah tidak boleh dibangun di atas dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah (persangkaan kuat ). ‘Aqidah harus dibangun di atas dalil-dalil yang menyakinkan (qath’iy). Allah telah menyatakan", mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa" (al-Nisaa':157). Orang yang menyakini bahwa Isa as telah terbunuh tidak memiliki bukti yang menyakinkan; dan keyakinan semacam ini dicela Al-Quran.


BAB IV
CELAAN AL-QURAN
TERHADAP DZAN



Al-Quran dengan tegas mencela orang yang mengikuti persangkaannya dalam masalah keyakinan (‘aqidah). Adanya celaan dari Allah swt, menunjukkan bahwa perbuatan tersebut –mengikuti dzan dalam masalah keyakinan (‘aqidah)-- terkategori perbuatan haram. Al-Quran telah menerangkan masalah ini dengan sangat jelas. Allah swt berfirman;

إِنْ هِيَ إِلاَّ أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى اْلأَنْفُس ُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.”[al-Najm:23]

إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنْثَى
“Sesungguhnya orang-orang yang tiada berîman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan.”[al-Najm:27]

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”[Yunus:36]

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا
“..Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) `Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah `Isa….”[al-Nisâ’:157]

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”[al-Nisâ’:116]

كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
“Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.”[Al-An’am:148]

أَلَا إِنَّ لِلَّهِ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَتَّبِعُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ شُرَكَاءَ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga.”[Yunus:66]
Allah swt juga berfirman,

قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?[Yunus:68]

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.”[Shâd:27]

وَإِذَا قِيلَ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ لَا رَيْبَ فِيهَا قُلْتُمْ مَا نَدْرِي مَا السَّاعَةُ إِنْ نَظُنُّ إِلَّا ظَنًّا وَمَا نَحْنُ بِمُسْتَيْقِنِينَ
“Dan apabila dikatakan (kepadamu): "Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya", niscaya kamu menjawab: "Kami tidak tahu apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak menyakini (nya)".[al-Jâtsiyyah:32]

وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”[Fushilat:23]

وَأَنَّهُمْ ظَنُّوا كَمَا ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَبْعَثَ اللَّهُ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaîmana persangkaan kamu (orang-orang kafir Mekah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasul) pun”[al-Jin:7]

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.”[AL-Baqarah:78].

Ayat-ayat di atas merupakan celaan yang pasti (jâzim) bagi orang yang mengikuti dzan dalam masalah ‘aqidah, atau keyakinan. Kata "dzan" di dalam ayat-ayat di atas berlaku baik bagi kaum Muslim maupun non Muslim.
Sedangkan dalam masalah hukum syari’at tidak perlu bukti yang menyakinkan. Allah swt berfirman, “

فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama da isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.." (Al-Baqarah : 230).

Ayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa untuk melaksanakan ruju’ – (‘amal)— tidak perlu didasarkan pada dalil (bukti) yang menyakinkan, akan tetapi cukup hanya didasarkan pada prasangka kuat (dzan). Ini terlihat dengan gamblang pada pecahan ayat di atas, “in dzanna an yuqiimaa hudud al-Allah” [jika keduanya berdzan (berprasangka kuat] akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah]. Secara syar’iy, orang yang hendak melaksanakan ruju’ (syari’at) tidak harus menyakini dengan pasti bahwa ia mampu menjalankan aturan Allah swt, akan tetapi cukup berdasarkan prasangka kuat mereka berdua, bahwa mereka mampu menjalankan aturan Allah swt.
Ini menunjukkan bahwa, untuk mengerjakan suatu perbuatan, tidak harus disandarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan, akan tetapi cukup didasarkan pada prasangka kuat saja (dzan).
Walhasil, ‘aqidah harus disandarkan pada dalil yang menyakinkan, baik tsubût maupun dilâlahnya. Sedangkan untuk amal perbuatan (syari’at) tidak perlu disandarkan pada dalil-dalil yang menyakinkan.



BAB V
HADITS AHAD &
PENETAPAN AQIDAH



Definisi Hadits Ahad
Di dalam Kitab Irsyaad al-Fuhuul, Imam Syaukaniy menyatakan, "Hadits ahad adalah khabar yang dengan dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan (ilmu);baik dari asalnya maupun berdasarkan qarinah (indikasi) dari luar. Atas dasar itu, tidak ada pertengahan antara hadits ahad dan mutawatir. Ini adalah pendapat mayoritas para ulama."
Al-Amidiy menyatakan, "Hadits (khabar) ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir".
Dr. Husain 'Abdullah, di dalam Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, menyatakan, "Secara literal, aahad merupakan bentuk plural dari ahad, yang artinya satu orang. Khabar al-Aahad adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan menurut istilah, khabar aahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir".
Menurut Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, hadits ahad adalah hadits yang perawinya tidak mencapai batas mutawatir, baik perawinya berjumlah satu orang atau empat orang. Dengan kata lain, hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi empat syarat hadits mutawatir.

Faedah Hadits Ahad Menurut Para Ulama
Para ulama berbeda pendapat dalam menilai "derajat kebenaran" yang dihasilkan hadits ahad. Mayoritas ulama, diantaranya adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'iy, dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat, berpendapat bahwa, hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan, namun hanya berfaedah pada dzann belaka . Sedangkan ulama lain, misalnya, Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat, berpendapat bahwa, hadits ahad menghasilkan keyakinan (ilmu).
Di dalam kitab al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam,Imam al-Amidiy menyatakan, "Para ulama berbeda pendapat mengenai khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh seorang perawi adil (hadits ahad), apakah haditsnya menghasilkan keyakinan? Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits semacam ini (hadits ahad) menghasilkan ilmu. Namun, di antara mereka ada perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "menghasilkan ilmu" adalah menghasilkan dzann, bukan menghasilkan keyakinan. Sebab, kata "ilmu" kadang-kadang diungkapkan dengan makna dzann. Sebagian yang lain berpendapat bahwa, hadits ahad menghasilkan ilmu yakin, meskipun tanpa qarinah (indikasi). Hanya saja, mereka juga berbeda pendapat, apakah semua hadits ahad menghasilkan ilmu, atau hanya sebagian saja? Sebagian ulama berpendapat bahwa semua hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan); seperti pendapat ahli Dzahir. Madzhab ini juga dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang dituturkan dari beliau. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa, hanya sebagian hadits ahad saja yang menghasilkan ilmu yakin, tidak semua. Ini adalah madzhab sebagian ahli hadits. Ulama lain, misalnya al-Nadzam dan pengikutnya, berpendapat bahwa, hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan) jika diindikasikan oleh qarinah. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa, hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan secara mutlak, baik dengan qarinah maupun tanpa qarinah". Imam al-Amidiy sendiri memilih pendapat bahwa, hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan) bila diperkuat oleh sejumlah indikasi (qarinah) .
Menurut Prof Mahmud Syaltut, hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan, akan tetapi hanya menghasilkan dzan belaka. Oleh karena itu, hadits ahad tidak absah digunakan hujjah dalam perkara aqidah, dan orang yang menolaknya tidak boleh dianggap kafir . Ini disebabkan karena, dari sisi tsubutnya (sumber), hadits ahad masih mengandung kesamaran.
Dr. Husain 'Abdullah, di dalam kitab Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy menyatakan, "Yufiid al-khabar al-aahad al-hukm al-nadhriy, aiy al-'ilm al-mutawaqqaf 'ala al-nadhr wa al-istidlaal, wa huwa yufiid al-dzann, wa laa yakfur jaahiduhu" (hadits ahad tidak berfaedah pada al-hukm al-nadhr, yakni ilmu (keyakinan) yang disandarkan atas pengamatan dan pengkajian; dan hadits ahad hanya menghasilkan dzan belaka. Oleh karena itu, orang yang menolaknya tidak boleh dianggap kafir).
Salah seorang pakar tafsir Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi dalam kitab tafsirnya, Mahasinu Ta’wil, telah menyatakan bahwa mengkritik hadits ahad sudah biasa terjadi dan popular sejak periode shahabat. Selanjutnya beliau menyebutkan penegasan al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan al-Fanari, bahwa yang mengkritik dan menolak hadits ahad tidak dapat dianggap kafir atau fasik dan sesat. Sebab, hal ini pernah terjadi dan dilakukan oleh para shahabat dan para ulama seperti penolakan ‘Aisyah ra terhadap hadits yang menyebutkan bahwa seorang mayit akan disiksa karena ditangisi oleh keluarganya, juga penolakan ‘Umar atas riwayat dari Hafshah .
Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa, hadits ahad tidak bisa dijadikan sandaran (hujjah) dalam menerima masalah ‘aqidah. Al-Quranlah rujukan yang benar, dan kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima pokok-pokok ‘aqidah .
Perhatikan komentar dari Imam Bazdawiy, “Adapun siapa saja yang menyerukan bahwa ia menghasilkan ilmu yaqin –maksudnya adalah hadits ahad--, tanpa diragukan lagi, itu adalah seruan bathil. Sebab, setiap orang pasti menolaknya. Semua ini disebabkan karena, khabar ahad masih mengandung syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih mengandung syubhat (kesamaran). Siapa saja yang menolak hal ini, sungguh ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.”
Prof. Mahmud Syaltut menyatakan,”Sesungguhnya jalan satu-satunya untuk menetapkan masalah ‘aqidah adalah al-Quran al-Karim; yakni ayat-ayat Quran yang qath’iy dilalahnya –ayat yang tidak mengandung dua makna atau lebih--, sebagaimana ayat-ayat yang digunakan untuk menetapkan keesaan Allah, risalah, dan keyakinan kepada hari akhir. Ayat-ayat yang tidak qath’iy dilalahnya –mengandung dua makna atau lebih--, maka ayat-ayat semacam ini tidak absah dijadikan dalil dalam masalah ‘aqidah……Walhasil, apakah ‘aqidah bisa ditetapkan dengan al-Quran atau tidak, tergantung dari dilalahnya, qath’iy atau dzanniy. Jika ‘aqidah tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan nash yang qath’iy baik dari sisi wurud (tsubut) dan dilalahnya, maka….. ”
Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara asal, maupun dengan adanya qarinah dari luar…Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama. Imam Ahmad menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri menghasilkan keyakinan. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy, Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita diriwayatkan oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak memenuhi syarat mutawatir [pentj]—maka khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir secara pasti jika dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Ia hanya menjadi khabar ahad. Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah saw masih mengandung syubhat (kesamaran). Khabar semacam ini tidak menghasilkan keyakinan (ilmu) .”
Beliau melanjutkan lagi, ‘Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah imam empat (madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.”
Imam Bazdawiy menyatakan, “Adapun yang mendakwakan ilmu yaqin –maksudnya adalah hadits hadits--, maka itu adalah dakwaan bathil tanpa ada keraguan lagi. Sebab, setiap orang pasti menolaknya. Semua ini disebabkan karena, khabar ahad masih mengandung syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih mengandung syubhat (kesamaran). Siapa saja yang menolak hal ini, sungguh ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.”
Al-Ghazali berkata, ‘Khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. Masalah ini –khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan—merupakan perkara yang sudah dimaklumi. Apa yang dinyatakan sebagian ahli hadits bahwa ia menghasilkan ilmu, barangkali yang mereka maksud dengan menghasilkan ilmu adalah kewajiban untuk mengamalkan hadits ahad. Sebab, dzan kadang-kadang disebut dengan ilmu.”
Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali dzan ”
Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak menghasilkan ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah i’tiqad (keyakinan). Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada keyakinan. Khabar ahad hanya menjadi hujjah dalam masalah amal. ”
Imam Asnawiy menyatakan, “Riwayat ahad hanya menghasilkan dzan. Namun, Allah swt membolehkan dalam masalah-masalah amal didasarkan pada dzan….”
Al-Kasaaiy menyatakan, “Jumhur fuqaha’ sepakat, bahwa hadits ahad yang tsiqah bisa digunakan dalil dalam masalah ‘amal (hukum syara’), namun tidak dalam masalah keyakinan…”
Imam Al-Qaraafiy salah satu ‘ulama terkemuka dari kalangan Malikiyyah berkata, “..Alasannya, mutawatir berfaedah kepada ilmu sedangkan hadits ahad tidak berfaedah kecuali hanya dzan saja.”
Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib berkata, “’Ulama berbeda pendapat dalam hal hadits ahad yang adil, dan terpecaya, apakah menghasilkan keyakinan bila disertai dengan qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, baik dengan qarinah maupun tidak.”
Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, “Jumhur kaum Muslim, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan ‘ulama-ulama setelahnya, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, serta ‘ulama ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah merupakan salah satu hujjah syar’iyyah; wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzan saja, tidak menghasilkan ‘ilmu.”
Dr. Rifat Fauziy, berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang,dua orang, atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir, sambung hingga Rasulullah saw. Hadits semacam ini tidak menghasilkan keyakinan, akan tetapi hanya menghasilkan dzan….akan tetapi, jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan kewajiban.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan; mayoritas ulama berpendapat, bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan, dan tidak absah digunakan hujjah untuk membangun perkara-perkara yang membutuhkan ilmu dan kepastian. Menurut Prof Mahmud Syaltut, pendapat ini rajih dan layak untuk diikuti. Oleh karena itu, masih menurut beliau, hadits ahad tidak boleh digunakan hujjah dalam masalah aqidah. Bahkan masalah ini seharusnya tidak diperselisihkan oleh kaum Muslim.
’Aqidah harus dibangun berdasarkan dalil-dalil yang menyakinkan, baik tsubut maupun dilalahnya. Sebab, keyakinan (‘aqidah) yang dituntut oleh syara’ adalah ‘aqidah yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Dengan kata lain, ‘aqidah harus menyakinkan dan pasti kebenarannya. Oleh karena itu, dalil yang membangun pokok-pokok ‘aqidah haruslah dalil yang menyakinkan, baik dari sisi tsubut maupun dilalahnya.
Sesungguhnya, hadits ahad adalah hadits yang sanadnya masih mengandung syubhat atau kesamaran . Oleh karena itu, dari sisi tsubut (penetapan), hadits ahad tidak bisa menghasilkan kepastian atau keyakinan. Karena tidak menghasilkan keyakinan, alias hanya menghasilkan dzan saja, maka hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah untuk perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan (ilmu). Pendapat ini dipegang dan dianggap paling kuat oleh jumhur ‘ulama.
Seluruh ‘ulama tidak berbeda pendapat; al-Quran dan hadits mutawatir yang qath’iy dilalahnya merupakan sumber yang menyakinkan (qath’iy tsubut) untuk menetapkan pokok keyakinan. Namun, bila dilalahnya tidak qath’iy maka ia tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.
Sebab, 'aqidah menuntut adanya kepastian baik dari sisi sumbernya maupun dilalahnya (makna yang ditunjukkan oleh nash). Sedangkan nash-nash yang dilalahnya dzanniy membuka ruang terjadinya multi interpretasi, sehingga tidak bisa dipastikan mana makna yang ingin dituju oleh nash. Jika nash-nash seperti ini layak dijadikan hujjah untuk membangun 'aqidah, tentunya akan terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim mengenai suatu masalah yang seharusnya mereka tidak boleh berbeda pendapat. Bahkan, bisa-bisa kaum Muslim akan menyakini dua hal yang kontradiktif, akibat dilalah nash yang dzanniy (tidak pasti). Oleh karena itu, masalah aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil yang tsubut dan dilalahnya pasti

BAB V
KEHUJJAHAN HADITS AHAD
DALAM MASALAH AQIDAH



Meskipun diskusi seputar hadits ahad (apakah menghasilkan keyakinan atau sekedar dzan) telah menjadi bahan perdebatan di kalangan kaum Muslim dan para ‘ulama, namun demikian perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak pernah menyulut pertentangan maupun tindakan-tindakan gegabah untuk saling mengkafirkan dan menyesatkan sesama Muslim. Para ‘ulama yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu tidak pernah mengeluarkan sepatah kata “pengkafiran” kepada ‘ulama yang berpendapat bahwa khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan.
Akan tetapi, ada sebagian kaum Muslim yang dengan gegabah dan prematur telah menyesatkan sekelompok kaum Muslim yang berpendapat bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Padahal pendapat yang menyatakan bahwa khabar ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan saja adalah pendapat terkuat yang dipilih oleh jumhur ‘ulama.

Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan adalah pendapat rapuh yang didasarkan pada dalil-dalil yang lemah. Bahkan orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan), sungguh ia telah merendahkan akal pikirannya sendiri.
Untuk menepis pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa, hadits ahad wajib dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah, maka kami akan memaparkan secara ringkas beberapa argumentasi berikut ini.

1. Ijma’ Shahabat Tatkala Mengumpulkan al-Quran al-Kariim.
Bila kita perhatikan dengan seksama proses pengumpulan al-Quran dalam mushhaf Imam, pastilah anda berkesimpulan bahwa, riwayat ahad tidak bisa digunakan hujjah dalam perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan (aqidah). Tidak hanya itu saja, menyakini khabar ahad wajib dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah akan berimplikasi serius bagi kesempurnaan dan keotentikan al-Quran. Pada dasarnya, al-Quran merupakan salah satu pilar aqidah Islam. Seorang mukmin tidak boleh meragukan keotentikan dan kesempurnaan al-Quran yang terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Apabila ada riwayat yang dianggap al-Quran, namun tidak diriwayatkan dengan jalan mutawatir, atau tidak tercantum di dalam Mushhaf; riwayat itu tidak boleh diyakini sebagai al-Quran.
Sesungguhnya, al-Quran yang sampai ke tangan kita, seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-Quran, tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran. Para shahabat sendiri tidak pernah melembagakan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran ke dalam mushhaf Imam.
Kenyataan ini saja sudah cukup untuk menggugurkan wajibnya menjadikan riwayat ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah. Sebab, al-Quran adalah pokok dan sumber ‘aqidah kaum Muslim; dan semua ayat yang tertulis di dalam mushhaf Imam tidak diriwayatkan kecuali secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-Quran namun tidak ditulis dan dicantumkan di dalam Mushhaf, harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran .
Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam kitab al-Itqan fi ‘Uluum al-Quran menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib) mutawatir, baik dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya, tempatnya, topiknya dan urut-urutannya. Kalangan pentahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran harus diriwayatkan secara qath’iy (mutawatir). Sebab, biasanya sesuatu yang menghasilkan kepastian harus mutawatir. Sebab, al-Quran adalah mukjizat agung yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga sebagai shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun terperincinya. Adapun, riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan tidak mutawatir , maka secara qath’iy ia bukan merupakan bagian dari al-Quran. Sebagian besar kalangan ushuliyyin berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat penetapan apakah riwayat tersebut termasuk al-Quran.“
Mayoritas ‘ulama ushul telah bersepakat bahwa, mutawatir merupakan syarat itsbat (penetapan), apakah suatu riwayat dianggap sebagai bagian dari al-Quran atau tidak. Riwayat-riwayat ahad yang dinyatakan sebagai al-Quran tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Dengan kata lain, khabar ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk menetapkan al-Quran.
Al-Quran adalah pokok dari 'aqidah Islam. Mengingkari al-Quran, atau menyakini bahwa al-Quran telah mengalami penambahan ataupun pengurangan adalah keyakinan bathil yang harus dijauhi oleh orang-orang beriman. Sebab, keyakinan semacam ini akan menjatuhkan seseorang –baik sadar maupun tidak sadar—pada sebuah keyakinan bahwa, al-Quran tidak lagi otentik dan asli.
Di dalam kitab-kitab hadits shahih banyak dituturkan riwayat ahad yang dinyatakan sebagai al-Quran, namun tidak dilembagakan di dalam mushhaf 'Utsmaniy. Kita juga menjumpai adanya mushhaf para shahabat yang kadang-kadang jumlah ayat dan urut-urutannya tidak sama dengan Mushhaf 'Utsmaniy. Seandainya riwayat-riwayat dan mushhaf para shahabat tersebut harus diyakini, dan layak dijadikan hujjah dalam penetapan al-Quran, sama artinya kita telah menuduh para shahabat telah berkonsensus untuk menambah atau mengurangi al-Quran. Padahal, hal ini adalah sebuah kemustahilan bagi para shahabat. Untuk itu, hadits ahad tidak boleh digunakan hujjah dalam perkara ‘aqidah (keyakinan). Al-Quran adalah pokok keimanan kaum Muslim, dan ia harus ditetapkan dengan riwayat-riwayat yang mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.
Berikut ini akan kami ketengahkan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran, akan tetapi tidak boleh diyakini sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran.
• Bukhari dalam kitab Tarikhnya menyatakan sebuah riwayat dari Hudzaifah, ia berkata;

قَرَأْتُ سُوْرَةَ الاحْزَابِ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ فَنَسِيْتُ مِنْهَا سَبْعِيْنَ آيةٍ مَا وَجَدْتُهَا
” Saya membaca surat al-Ahzab di hadapan Nabi saw dan tujuh puluh ayat darinya saya sudah lupa, dan saya tidak mendapatkannya di dalam al-Quran sekarang.’
Riwayat ini adalah riwayat ahad. Seandainya riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam masalah ‘aqidah, tentu kita harus menyakini juga bahwa surat al-Ahzab yang tertuang dalam mushhaf Imam, tidak lengkap. Sebab, ada 70 ayat dalam surat al-Ahzab yang telah hilang. Padahal, keyakinan semacam ini tentu akan berakibat fatal bagi kebersihan dan keotentikan al-Quran al-Karim sebagai kalamullah dan mukjizat terbesar dari Rasulullah saw. Menyakini riwayat ini sama artinya menuduh al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan).


• Riwayat semacam ini juga diketengahkan oleh Abu Ubaid di dalam al-Fadlaail; Ibnu Al-Anbaariy, dan Ibnu Mardawaih dari ‘Aisyah, bahwasanya beliau ra berkata;

كَانَتْ سُوْرَةُ اْلاَحْزَابِ تُقْرَأُ فيِ زَمَانِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ مِائَتَيْ آيَةٍ فَلَمَّا كَتَبَ عُثْمَانُ اْلمَصَاحِفَ لمَ ْيَقْدِرْ مِنْهَا إِلاَّ عَلَى مَا هُوَ الآن

“Pada masa Nabi saw, surat al-Ahzab dibaca sebanyak dua ratus ayat. Akan tetapi, ketika ‘Utsman menulis mushhaf dia tidak bisa mendapatkannya kecuali sebagaimana yang ada sekarang ini.”
Seandainya riwayat ahad ini harus diyakini dan wajib dijadikan hujjah dalam masalah 'aqidah, tentunya kita harus menyakini lebih dari separuh surat al-Ahzab telah hilang, tepatnya seratus dua puluh tujuh ayat. Sebab, surat al-Ahzab yang ada di dalam Al-Quran hanya berjumlah tujuh puluh tiga ayat. Oleh karena itu, riwayat ini tidak boleh diyakini bahkan harus ditolak untuk dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah. Seorang Muslim dilarang menyakini bahwa ada ayat Quran yang tidak terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy.
• Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, disana disebutkan, "Abu Bakar ra memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul Mukminin berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu 'ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha...). Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, "Tulislah, hafidzu...wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'ashr..". 'Umar ra bertanya, "Apakah kamu punya saksi?" Hafshah menjawab, "Tidak!". 'Umar berkata, "Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti."
Riwayat Hafshah ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Sebab, ia adalah khabar ahad. Oleh karena itu, riwayat ini tidak boleh diyakini sebagai bagian al-Quran. Sebab, jika riwayat ini diyakini sama artinya menyakini bahwa al-Quran telah mengalami pengurangan, karena kata “al-‘Ashr” tidak terlembaga di dalam mushhaf 'Utsmaniy.

• Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha', dan Ibnu Dawud dalam Mashahif dari Ummul Mukminin 'Aisyah ra, ia berkata, "Telah turun ayat tentang 10 (kali isapan) susuan yang mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian dihapus dengan 5 kali (isapan) susuan. Kemudian Rasulullah saw meninggal, sedangkan beliau menyatakan ia adalah al-Quran." Namun demikian, tak seorangpun shahabat yang memperhatikan riwayat ini. Mereka tidak menulisnya di dalam Mushhaf. Juga tidak boleh dipahami bahwa, riwayat tersebut merupakan al-Quran yang telah dihapus. Sebab, tidak ada nasakh tilawah di dalam al-Quran. Meskipun sebagian ulama berpendapat adanya nasakh tilawah, namun pendapat itu lemah dan tidak layak diikuti. Adapun mengapa nasakh tilawah tidak terdapat di dalam al-Quran; sebab, riwayat-riwayat yang menuturkan adanya nasakh tilawah adalah hadits ahad; sehingga, tidak menghasilkan kepastian dan keyakinan. Selain itu, riwayat-riwayat tersebut tidak boleh dianggap sebagai al-Quran maupun bagian dari al-Quran; sehingga harus diimani dan diyakini sebagai al-Quran yang dihapus .
• Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dalam Mashahif, al-Haakim, dan selain keduanya dari Mushhafnya Ubay bin Ka'ab, ia menuturkan ayat tentang kifarah (denda) budak. Di dalam mushhafnya Ubay tersebut disebutkan, "fa shiyaam tsalaats ayaam mutatabi'aat fi kifaarat al-yamiin"[berpuasa tiga hari berturut-turut untuk kifarat al-yamin].”
Riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam mushhaf Imam. Riwayat ini juga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sebab, seandainya hadits ini harus diyakini, maka al-Quran yang terlembaga di dalam mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi otentik, alias telah mengalami pengurangan. Dalam masalah ini, Imam Syafi’iy menolak riwayat ini, sebab ia dinukil dengan jalan ahad.
• Imam Ahmad, Haakim dari Katsir bin Shalat, ia berkata, "Adalah Ibn al-'Ash dan Zaid bin Tsabit sedang menulis mushhaf. Lalu, sampailah mereka kepada ayat ini, maka Zaid berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, "al-Syaikh wa syaikhaat idza zanaya [kakek dan nenek jika berzina].", 'Umar berkata, "Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika ia tidak muhshon akan dijilid, sedangkan jika seorang pemuda berzina, dan ia muhshon, maka dirajam".

• Dalam riwayat Muwatha' 'Umar berkata dalam khutbahnya, "Seandainya bukan karena orang-orang mengatakan bahwa 'Umar bin Khaththab telah menambah Kitabullah, sungguh aku akan menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah membacanya".
Dua riwayat di atas bukanlah al-Quran dan tidak boleh diyakini sebagai ayat Quran yang dihapus (mansukh). Alasannya, riwayat-riwayat di atas adalah khabar ahad, sehingga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Bagaimana kita bisa menyatakan bahwa riwayat ini adalah al-Quran yang dihapus, padahal riwayat ini tidak terbukti sebagai al-Quran? Seperti halnya riwayat-riwayat sebelumnya, riwayat ini dituturkan secara ahad, dan al-Quran tidak ditetapkan kecuali berdasarkan riwayat mutawatir. Riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran.

• Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, al-Bazari, Thabarani, Ibnu Mardawaih dengan jalan shahih dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud bahwa, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas tidak memasukkan al-Mu'awidzatain (surat al-Falaq dan al-Naas) dalam mushhafnya. Keduanya menyatakan bahwa al-Quran tidak tercampur dengan sesuatu yang bukan dari Kitabullah. Menurut kedua shahabat itu, al-mu’awidzatain bukan termasuk al-Quran, namun hanya perintah Allah kepada Nabi saw untuk berlindung dengan keduanya”.
• Imam Fakhr al-Raziy menuturkan, bahwa sebagian kitab-kitab terdahulu telah menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud telah mengingkari surat al-Fatihah dan al-Mu’awidzatain sebagai bagian dari al-Quran.
Imam Nawawiy dalam Syarh al-Muhadzdzab menyatakan, " Seluruh kaum Muslim telah bersepakat bahwa, al-Mu’awidzatain dan al-Fatihah merupakan bagian dari al-Quran. Siapa saja yang mengingkari keduanya [sebagai bagian dari al-Quran] telah terjatuh dalam kekafiran. Sedangkan riwayat yang dinukil dari Ibnu Mas’ud adalah bathil, dan sama sekali tidak shahih."
Al-Bazariy menyatakan, "Tak seorang pun dari kalangan shahabat yang mengikuti pendapat Ibnu Mas'ud. Telah disahkan dari Nabi saw bahwa, beliau saw membaca keduanya dalam sholat dan mu'awidzatain ditetapkan dalam mushhaf" . Walhasil, para shahabat ra menolak khabar dari shahabat Ibnu Mas'ud ra, karena ia adalah khabar ahad yang tidak sampai kepada derajat mutawatir dan qath'iy.
Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Qadh al-Ma’aliy Tatmiim al-Majaliy, berkata, “Riwayat ini merupakan pendustaan atas nama Ibnu Mas’ud.”
Ibnu Hajar dalam Syarh al-Bukhari menyatakan: “Telah dishahihkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia telah mengingkari al-Mu’awidzatain.” Riwayat senada juga dituturkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, bahwa Ibnu Mas’ud tidak menulis al-Mu’awidzatain di dalam mushhafnya.

Lalu, apakah berdasarkan riwayat ahad ini, anda akan menarik kesimpulan bahwa al-Mu’awidzatain bukanlah bagian dari al-Quran? Seandainya anda menyatakan, bahwa riwayat Ibnu Mas’ud ini harus diyakini, tentunya al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan). Seandainya kita menyatakan, bahwa hadits ahad yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ini tidak boleh diyakini, maka anda telah menyelamatkan al-Quran dari adanya tahrif.
• Hujjaaj menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Juraij, dari Hamidah binti Abi Yunus, bahwasanya ia berkata, "Dibacakan di depan ayahku, Mushhaf 'Aisyah ra, di mana saat itu ayahku masih berumur 8 tahun. Di dalam Mushhaf itu tercantum ayat, "Innallaha wa malaaikatahu yushalluuna 'alan Nabiy, ya ayyuhal ladziina aamanuu shalluu 'alaihi wa sallimuu tasliima wa 'alal ladziina yushalluuna al-shufuuf al-awwal". Ia membacanya sebelum 'Utsman mengubah Mushhaf-Mushhaf". Riwayat ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran yang telah dihapus tilawahnya. Sebab, riwayat ini dituturkan secara ahad, sehingga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran yang telah dihapus.
• Masih banyak riwayat-riwayat ahad lain yang dinyatakan sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran yang tidak dilembagakan di dalam Mushhaf 'Utsmaniy. Riwayat-riwayat semacam ini jumlahnya sangat banyak. Seandainya kita harus menyakini riwayat-riwayat ini, sama artinya dengan menyakini bahwa Mushhaf 'Utsmaniy telah mengalami tahrif (penyimpangan).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, riwayat ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk membangun pokok keimanan. Perilaku para shahabat dengan tidak melembagakan riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran merupakan bukti nyata, bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.

2. Para Shahabat Mensyaratkan Jumlah Tertentu Pada Saat Pelembagaan al-Quran
Kami juga akan memaparkan riwayat-riwayat yang menuturkan, bahwa tatkala mengumpulkan al-Quran al-Karim pada masa Abu Bakar ra, para shahabat telah mensyaratkan jumlah tertentu, hingga riwayat mereka dianggap sebagai al-Quran.
• Ibnu Abi Dawud dalam Mashahif dari Abu Bakr, meriwayatkan, “Sesungguhnya Abu Bakar memerintahkan kepada 'Umar dan Zaid ra agar keduanya duduk di pintu masjid, dan memerintahkan keduanya agar siapapun yang membawa sesuatu dari al-Quran dengan membawa dua orang saksi, maka keduanya harus mencatatnya”.
• Dari jalan Ibnu Sa'ad, ia berkata,” Keduanya duduk di pintu masjid, dan tak seorangpun yang membawa sesuatu dari Al-Quran yang disaksikan oleh dua orang, kecuali akan ditulis dan tidak akan diingkari oleh keduanya”.
• Menurut Ibnu Abu Dawud dalam Mashahif dari Yahya bin 'Abd al-Rahman bin Haatib berkata, 'Umar berkata, "Siapa saja yang menyimpan sesuatu –al-Quran-- dari Rasulullah, maka serahkanlah. Sedangkan para shahabat menulis ayat-ayat Quran dalam shuhuf, batu tulis, tulang. ‘Umar ra tidak menerima apapun dari seseorang, sampai orang tersebut menghadirkan dua orang saksi”.
• Dari jalan Ibn Sa'ad dan Ibn Abi Dawud dan Ahmad bin Hanbal dan selainnya, dari Khuzaimah bin Tsabit berkata, "Saya menyampaikan ayat (laqad jaa`akum) kepada 'Umar ra dan Zaid bin Tsabit. Zaid bertanya, siapakah orang yang menyaksikan bersamamu.. Saya menjawab, "Demi Allah saya tidak tahu!" 'Umar berkata, "Saya menyaksikan hal itu bersamamu".
• Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir dan selainnya meriwayatkan dari 'Ubaid bin 'Umair, bahwa ia berkata, "Umar tidak menerima satu ayat dari Kitabullah sampai ada dua orang saksi yang menyaksikan".
• Dalam shahih Bukhari dan Ibnu Abi Dawud dan selain keduanya dari Zaid bin Tsabit berkata, "Ketika kami menulis Mushhaf, saya kehilangan sebuah ayat dari kitabullah, dimana aku pernah mendengarnya dari Rasulullah saw, dan aku menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit "Minal mukminiin rijaalun.. ", sedangkan Khuzaimah memiliki dua orang saksi. Rasulullah saw membolehkan persaksian dengan saksi dua orang".
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan, bahwa para shahabat telah menetapkan syarat-syarat tertentu tatkala melembagakan al-Quran dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Seandainya, khabar ahad bisa dijadikan hujjah dalam pelembagaan al-Quran, tentu para shahabat tidak perlu mensyaratkan dua orang saksi. Jikalau berita satu orang bisa digunakan sandaran untuk menetapkan pokok ‘aqidah (al-Quran) tentu para shahabat tidak perlu lagi mensyaratkan dua orang saksi. Akan tetapi, para shahabat menolak untuk melembagakan khabar yang diklaim sebagai al-Quran jika tidak mendatangkan dua orang saksi dan mendatangkan bukti otentik lainnya (tulisan).
Perhatikan riwayat berikut ini:
• Dalam shahih Bukhari, Zaid berkata, "Saya kehilangan satu ayat dari surat al-Ahzab, kemudian aku mendapatkannya pada Khuzaimah, karena ia menyimpannya. Seandainya tidak, tentu hilanglah ayat tersebut. Kemudian ayat tersebut ditulis.
• Dalam riwayat Ibnu Abi Dawud dari 'Umar, ia berkata, "Barangsiapa mendapatkan dari Rasulullah sesuatu dari al-Quran, maka serahkanlah”. Perawi berkata, "Mereka menulis dalam shuhuf, batu, dan tulang".
Riwayat di atas menunjukkan dengan pasti, bahwa para shahabat ra tidak mencantumkan satupun ayat dalam mushhaf kecuali bisa dipastikan bahwa ayat tersebut adalah al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah saw.
• Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, disana disebutkan, "Abu Bakar ra memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul Mukminin berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu 'ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha...). Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, "Tulislah, hafidzu...wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'ashr..". 'Umar ra bertanya, "Apakah kamu punya saksi?" Hafshah menjawab, "Tidak!". 'Umar berkata, "Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti."
Berdasarkan riwayat ini, kita tidak mungkin lagi menyatakan bolehnya membangun pokok keimanan dengan khabar ahad. Riwayat di atas telah menunjukkan, bahwa ‘Umar telah menolak khabar yang disampaikan oleh Hafshah. Sebab, Hafshah tidak memiliki saksi. Seandainya khabar ahad bisa diterima untuk menetapkan al-Quran tentu ‘Umar ra akan menulis khabar Hafshah di dalam mushhaf.

3. Argumentasi ‘Aqliyyah
Secara ‘aqliy, ketika anda menyaksikan suatu peristiwa secara langsung, dan terlibat di dalamnya, anda pasti akan menyakini kebenaran peristiwa yang anda saksikan tersebut. Sebab, peristiwa tersebut menyakinkan dari sisi anda. Namun, ketika anda menyampaikan peristiwa itu kepada orang yang tidak menyaksikannya secara langsung, tentu orang itu tidak langsung mempercayai ucapan anda, meskipun anda sangat menyakini peristiwa itu. Peristiwa tersebut hanya menyakinkan dari sisi anda, namun tidak bagi orang yang tidak menyaksikan peristiwa itu secara langsung. Di sinilah pentingnya itsbat (penetapan) terhadap apa yang anda sampaikan, apakah berita yang anda sampaikan itu benar-benar menyakinkan atau tidak.
Hal ini tidak ubahnya dengan kesaksian yang diberikan seorang saksi kepada seorang qadliy. Seorang saksi harus membangun kesaksiannya dengan bukti-bukti yang menyakinkan. Ia tidak boleh bersaksi, kecuali jika ia menyaksikan kejadiannya secara langsung, menyakinkan dan pasti. Sebab Rasulullah saw bersabda, “
"Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah".
Namun demikian, apa yang disaksikan oleh seorang saksi hanya menyakinkan dari sisi saksi saja, tidak bagi qadliy. Ketika qadli menerima kesaksian seorang saksi, tidak secara otomatis “kesaksian itu” menyakinkan dari sisi qadliy -- meskipun, kesaksian itu menyakinkan dari sisi saksi. Bahkan, seorang qadliy tidak harus menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian seorang saksi. Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi saw bersabda:
"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka" .
Nash ini menunjukkan, bahwa Rasulullah saw memutuskan perkara berdasarkan prasangkanya. Kesaksian yang diberikan kepada saksi hanya menyakinkan dari sisi saksi, tidak bagi qadliy. Buktinya, Rasulullah saw menyatakan kemungkinan adanya vonis yang salah. Seandainya, berita yang disampaikan seorang saksi juga menyakinkan dari sisi qadliy, tentu Rasulullah saw tidak akan menyatakan kemungkinan adanya kesalahan dalam hal vonis.
Bahkan, Rasulullah saw telah menyatakan dengan jelas, bahwa seorang hakim itu memutuskan sesuatu berdasarkan dzan, bukan sekadar dengan keterangan yang disampaikan oleh seorang saksi.
Dari ‘Amru bin al-‘Ash, beliau mendengar Rasulullah saw bersabda: Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, lantas ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Namun, jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.
Kenyataan seperti ini, sama persis dengan si anu yang menyampaikan sebuah khabar kepada si fulan. Meskipun khabar itu menyakinkan dari sisi si anu, namun dari sisi si fulan, khabar itu tidaklah menyakinkan. Oleh karena itu, si fulan bisa menolak, atau menerima berita dari si anu.
Ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa khabar yang disampaikan oleh seorang yang adil, tetaplah tidak menyakinkan bagi orang yang menerima berita tersebut; walaupun bagi orang yang adil tersebut berita itu menyakinkan.
Namun demikian, jika berita itu telah masyhur dan menyakinkan, maka dengan sendirinya, siapapun yang menyampaikan berita itu, wajib kita yakini. Secara ‘aqliy khabar yang disampaikan seseorang atau lebih yang tidak mengantarkan kepada keyakinan, hanya akan menghasilkan dzan belaka, tidak menyakinkan.
Seluruh keterangan di atas menunjukkan bahwa akal bisa menetapkan bahwa berita yang disampaikan secara ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan belaka.


BAB VI
PERSEPSI SALAH
YANG HARUS DILURUSKAN



Rasulullah saw mengutus seorang utusan untuk menyampaikan Islam –baik masalah ‘aqidah dan hukum— kepada kabilah-kabilah Arab dan para raja
Apakah diutusnya seorang atau beberapa orang shahabat di wilayah-wilayah Islam, baik untuk mengajarkan masalah ‘aqidah maupun hukum syara’, menunjukkan bahwa hadits ahad bisa digunakan sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dibedakan terlebih dahulu antara itsbat khabar (penetapan berita), khabar (berita), dengan tabligh khabar (menyampaikan berita), syahadah (kesaksian).
Itsbat adalah penetapan suatu berita dari sisi, apakah berita itu benar-benar qath’iy (pasti) berasal dari sumber asal berita, ataukah tidak pasti. Contohnya, dalam al-Sunan terdapat hadits yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa dibuat khamer.” Yang dimaksudkan itsbat khabar, adalah apakah khabar yang dibawa oleh Nu’man bin Basyir benar-benar pasti (qath’iy) khabar dari Rasulullah saw, atau tidak pasti? Bila berita itu bisa dibuktikan benar-benar berasal dari Rasulullah saw, maka dari sisi itsbat berita tersebut adalah qath’iy berasal dari Rasulullah saw. Contoh lain adalah al-Quran al-Karim. Apakah al-Quran yang dibukukan dalam mushhaf ‘Utsmani itu benar-benar pasti berasal dari Rasulullah saw, ataukah tidak pasti? Jika ia bisa dibuktikan memang benar-benar berasal dari Rasulullah saw, maka al-Quran tersebut adalah pasti berasal dari Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan itsbat.’
Khabar adalah, berita, informasi yang dibawa oleh seseorang. Khabar bisa meliputi masalah ‘aqidah ataupun hukum syara’. Pada hadits di atas, yang disebut khabar adalah matan hadits itu sendiri, yakni, “Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa dibuat khamer”.
Kesaksian (syahadah) adalah penyampaian khabar (berita) oleh saksi di hadapan qadliy di dalam majelis peradilan. Kesaksian ini ditetapkan berdasarkan syarat-syarat tertentu. Kesaksian dianggap batal bila tidak memenuhi nishab kesaksian. Misalnya, kesaksian dalam masalah perzinaan nishabnya adalah empat orang. Jika kurang dari empat orang saksi (laki-laki) maka kesaksiannya ditolak. Dalam ru’yatul hilal, saksi cukup satu orang saja. Untuk masalah mu’amalah disyaratkan dua orang saksi.
Ini berbeda dengan masalah tabligh. Tabligh tidak disyaratkan jumlah tertentu. Satu orang dianggap sah untuk mentablighkan Islam, baik menyangkut masalah ‘aqidah maupun hukum syara’.
Tabligh khabar adalah menyampaikan informasi kepada orang lain. Misalnya, ada informasi tentang kecelakaan lalu lintas. Kemudian anda menyampaikan informasi ini kepada orang lain yang jauh dari lokasi kecelakaan dan tidak melihat secara langsung peristiwa kecelakaan tersebut. Aktivitas menyampaikan informasi kepada orang lain ini disebut dengan tabligh khabar. Misalnya, Ali ra menyampaikan surat al-Taubah kepada penduduk Yaman. Apa yang dilakukan oleh ‘Ali ra tersebut termasuk bagian dari tabligh khabar.
Tabligh berbeda dengan istbat khabar. Tablig adalah menyampaikan khabar tanpa memandang shahih atau tidaknya berita yang disampaikan, dan juga tidak disyaratkan jumlah tertentu (sebagaimana kesaksian). Tabligh akan terjadi hingga akhir masa. Penetapan sebuah berita (itsbat) apakah mutawatir atau tidak sudah selesai, dan hanya terjadi pada thabaqat pertama, kedua, dan ketiga (masa shahabat, tabi’un dan tabi’ut tabi’in).
Memang benar, Rasulullah saw telah mengutus seorang shahabat atau beberapa orang shahabat untuk menyampaikan Islam kepada sekelompok masyarakat, dan raja-raja. Rasulullah saw juga pernah mengutus ‘Ali ra untuk membacakan surat Taubah kepada sekelompok masyarakat. Riwayat-riwayat semacam ini jumlahnya sangatlah banyak.
Akan tetapi, riwayat ini hanya menunjukkan diterimanya khabar ahad dalam masalah tabligh. Baik tabligh yang berhubungan dengan ‘aqidah maupun hukum. Akan tetapi, riwayat-riwayat semacam ini tidak menunjukkan diterimanya khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah. Tidak boleh dikatakan bahwa penerimaan terhadap tabligh Islam sama juga artinya dengan menerima khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah. Tidak bisa dinyatakan seperti itu, sebab, penerimaan terhadap tabligh Islam berbeda dengan penerimaan khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah.
Dalilnya adalah sebagai berikut;
Muballigh (orang yang menyampaikan berita) harus bisa membuktikan dengan akalnya bahwa apa yang ia sampaikan itu benar-benar menyakinkan. Jika berita yang dibawa itu benar-benar menyakinkan (qath’iy), muballigh harus menyakini berita yang dibawanya itu, dan dianggap kafir jika ia tidak menyakini berita yang telah nyata-nyata qath’iy itu. Ini menunjukkan bahwa khabar yang dibawa oleh muballigh harus melalui proses itsbat terlebih dahulu. Artinya dirinya harus melakukan proses itsbat terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan berita kepada masyarakat. Ini berbeda dengan orang yang menerima tabligh. Ia bisa menolak khabar yang dibawa oleh seseorang, sama saja apakah khabar itu berkaitan dengan masalah ‘aqidah atau hukum. Penolakan dirinya terhadap tabligh khabar tentang Islam tidak dianggap sebagai kekafiran. Akan tetapi jika ia menolak Islam yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’iy), hal semacam inilah yang bisa dianggap sebagai tindak kekufuran.
Dalilnya adalah, para shahabat ra terbiasa melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap berita yang mereka terima. Shahabat ‘Umar ra pernah menolak tabligh khabar dari Hafshah ra. Demikian juga para shahabat yang lain.
Para ‘ulama hadits juga telah mengamalkan hal ini. Sebagian ‘ulama hadits menolak riwayat yang oleh ‘ulama hadits lainnya dianggap sebagai hadits yang shahih. Riwayat yang dishahihkan oleh sebagian ‘ulama belum tentu dishahihkan oleh ‘ulama yang lain.
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, kadang-kadang dilemahkan atau ditolak oleh sebagian ahli hadits lain. Contohnya adalah, Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Kaum mukmin itu saling menanggung darahnya” Perawi hadits ini, ‘Amru bin Syu’aib mendapatkan hadits ini dari bapaknya dan dari kakeknya. Sebagian ‘ulama hadits menerima haditsnya sebagian lagi menolaknya. Imam Tirmidziy berkata, “Mohammad Isma’il berkata, “Saya melihat bahwa Ahmad, Ishaq menerima haditsnya ‘Amru bin Syu’aib sebagai hujjah.” ‘Ali bin Abi ‘Abdillah bin al-Madani berkata, “Yahya bin Sa’id berkata, “Menurut kami hadits ‘Amru bin Syu’aib adalah hadits yang lemah.”

Contoh lain adalah, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Ahmad, al-Nasaa’iy, Ibnu Majah, dan Tirmidziy dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, kami tengah berlayar di lautan, sedangkan bekal air (tawar) kami sangat sedikit. Jika kami berwudlu’ dengan bekal air kami, maka kami akan kehausan, Apakah kami boleh berwudlu’ dengan air laut? Rasulullah saw menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya halal.” Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidziy dari Imam Bukhari, sedangkan ia menshahihkannya. Ibnu ‘Abdi al-Barr dan Ibnu Mundzir juga menshahihkan hadits ini. Ibnu al-Asiir dalam Syarh al-Musnad menyatakan, “Ini adalah hadits shahih dan masyhur, dan diriwayatkan oleh para ‘ulama dalam kitab-kitab mereka. Mereka menggunakan hadits ini sebagai hujjah. Rijalnya juga tsiqat (terpercaya). Imam Syafi’iy tatkala mengomentari isnad hadits ini ia berkata, “Ia termasuk orang yang tidak saya ketahui.”
Dalam kitab Tanaaqudlaat, juga disebutkan, bahwa Nashiruddin al-Albani telah menolak (melemahkan) hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sebagian ahli hadits.
Bila penolakan terhadap tabligh riwayat ahad [ telah dibuktikan bahwa ia adalah riwayat ahad], dianggap kekufuran, betapa para ‘ulama sekaliber Imam Syafi’iy, Abu Daud, Tirmidziy, serta ‘ulama-‘ulama lain telah kafir seluruhnya. Atau apakah anda akan menyatakan bahwa Nashiruddin al-Albani telah kafir karena menolak khabar ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, serta Imam-imam ahli Hadits lainnya? Alasannya, karena ia telah menolak tabligh khabar ahad dari perawi-perawi yang lain. Apakah anda berani mengkafirkan ‘ulama-‘ulama besar tersebut, hanya karena mereka menolak riwayat-riwayat ahad!
Ini membuktikan bahwa penolakan terhadap tabligh khabar tidak berujung kepada kekafiran. Akan tetapi menolak tabligh Islam, yang khabarnya telah dibuktikan kepastiannya [itsbatnya qath’iy], misalnya al-Quran, dan Kenabian Mohammad saw, serta hadits-hadits mutawatir, bisa menjatuhkan seseorang dalam kekafiran!! Orang yang menolak al-Quran yang telah nyata-nyata dibuktikan berdasarkan bukti-bukti yang menyakinkan, maka dirinya telah keluar dari Islam tanpa ada khilaf. Artinya, jika sebuah berita telah ditetapkan (berdasarkan proses itsbat (penetapan)) sebagai berita yang menyakinkan (qath’iy) berasal dari Rasulullah saw, maka menolak berita semacam ini bisa menjatuhkan seseorang ke dalam kekafiran. Jumhur ‘ulama telah menetapkan bahwa hanya berita mutawatir saja yang menghasilkan keyakinan, dari sisi itsbat. Berita ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan (keraguan).

Sedangkan masalah mengambil hadits ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah itu adalah masalah lain. Karena ‘aqidah harus didasarkan kepada sesuatu yang menyakinkan, maka dalil-dalil yang membangun ‘aqidah pun harus qath’iy dan menyakinkan. Bila ‘aqidah harus menyakinkan dan tidak boleh meragukan, maka dalil yang bisa membangunnya haruslah dalil yang bersifat menyakinkan. Iman semacam ini tidak mungkin diwujudkan dengan dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah seperti halnya hadits ahad.

Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah = Tidak Pernah Dikatakan oleh ‘Ulama Salaf
Pendapat semacam ini adalah pendapat premature yang tidak bisa diterima akal sehat. Sebab, pembahasan semacam ini –hadits ahad menghasilkan keyakinan atau tidak—termasuk dalam pembahasan ushul dan pondasi bagi kaedah-kaedah fiqhiyyah. Padahal ilmu ushul fiqh, ilmu mushthalah hadits, ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan seterusnya adalah ilmu yang dibuat setelah periode ‘ulama salaf. Lalu, apakah anda akan menolak ilmu-ilmu ini, hanya dengan alasan karena tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf?
Kita harus memahami terlebih dahulu definisi salaf, tatkala kita menyinggung ‘aqidah salaf dan hal-hal yang mereka pegangi. Jika yang dimaksudkan generasi salaf adalah sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, dan kemudian generasi berikutnya”, maka tidak secara otomatis pendapat yang bertentangan dengan pendapat ulama salaf, atau yang tidak pernah dikatakan oleh mereka terkategori bid’ah dan sesat. Jika anda konsisten untuk memegang ‘aqidah salaf, dan hukum yang digali salaf, sedangkan yang lain tidak benar dan bid’ah, atau tidak boleh diikuti –karena tidak dikatakan ulama salaf--, lalu bagaimana komentar anda tentang ilmu ushul fiqh yang digagas pertama kali oleh Imam Syafi’iy. Bukankah beliau adalah orang yang pertama kali meletakkan landasan ilmu ushul fiqh pertyama kali, melalui bukunya al-Risalah? Selain itu, bukankah beliau hidup setelah masa tiga masa itu. Bahkan beliau tidak termasuk tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in. Apakah anda akan mengatyakan bahwa yang diperbuat imam Syafi’i itu bid’ah karena tidak pernah dibicarakan oleh ulama salaf? Kalau merujuk hanya kepada ulama salaf sebuah keharusan, sedangkan yang lain harus ditinggalkan, mengapa anda memakai kitab Shahih Bukhari dan Muslim?. Bukankah keduanya dibukukan setelah periode salaf ? Apakah anda menyatakan bahwa Imam Bukhari dan Muslim melakukan tindakan bid’ah?
Oleh karena itu, pertanyaannya bukan apakah telah dibicarakan oleh ulama salaf atau belum, sesuai dengan ‘ulama salaf atau tidak. Yang terpenting adalah apakah sebuah pendapat sejalan dengan al-Quran dan Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas? Tidak perlu kita nyatakan siapa yang menggali hukum tersebut. Pendapat shahabat saja bukan dalil bagi kita, bahkan bisa jadi pendapat mereka salah. Oleh karena itu, yang menjadi tolok ukur adalah kebenarannya sendiri, bukan dikatakan ulama salaf atau tidak. Sebab, ulama salaf tidaklah ma’shum.
Di sisi yang lain, ijtihad untuk menggali hukum dari al-Quran dan Sunnah harus dilakukan hingga akhir jaman. Padahal, ada peristiwa-peristiwa maupun kejadian-kejadian yang tidak dijumpai di generasi salaf. Namun, kita tetap harus menggali hukum berdasarkan nash-nash al-Quran dan Sunnah, dan metodologi istinbath yang shahih.

Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Masalah ‘Aqidah = Menolak Hadits Ahad
Ini adalah kesimpulan premature yang menunjukkan ketidaktahuan dirinya mengenai ushul fiqh.
Hadits ahad yang tsiqat dan terpercaya wajib diamalkan, dan bisa digunakan hujjah dalam perkara syari’at (amal). Sedangkan dalam perkara ‘aqidah, yang membutuhkan keyakinan (ilmu) , maka hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah di dalamnya. Sebab, iman mensyaratkan harus diyakini seratus persen tanpa ada syubhat ataupun kesamaran. Sedangkan hadits ahad masih mengandung syubhat dan kesamaran. Walhasil, jika iman mengharuskan adanya keyakinan, maka keimanan (‘aqidah) tidak mungkin dibangun dengan hadits ahad.
Lalu mereka mengeluarkan sebuah statement,” Kalau anda tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam perkara ‘aqidah, mengapa anda mesti mengerjakannya? Bukankah ini berarti bahwa apa yang anda kerjakan tidak didasarkan pada keyakinan atau iman? Padahal, bukankah kita diperintah untuk mengerjakan perbuatan apapun atas landasan iman?
Benar, kita harus mengerjakan perbuatan apapun karena keimanan kita. Kita tidak boleh mengerjakan perbuatan bukan karena motivasi iman. Namun, masalah ini (perbuatan yang harus berlandaskan motivasi iman) harus dibedakan dengan berhujjah dengan dalil ahad dalam masalah ‘aqidah. Dalam masalah amal (perbuatan) Allah swt dan juga rasulNya tidak mensyaratkan harus dibangun berdasarkan dalil yang menyakinkan. Untuk perkara amal, Allah dan Rasulnya mencukupkan kepada kita untuk bersandar dengan dalil-dalil yang dzan (dilalahnya dan tsubutnya (hadits ahad). Syara’ tidak mensyaratkan bahwa untuk mengerjakan sebuah amal harus dibangun berdasarkan dalil-dalil yang menyakinkan. Ini menunjukkan, tatkala kami beramal menggunakan hadits ahad dibarengi dengan sebuah keyakinan (keimanan) bahwa Allah membolehkan kita untuk beramal dengan dalil-dalil dzan; misalnya hadits ahad. Namun, Allah melarang kita untuk menggunakan dalil-dalil dzan (hadits ahad) untuk membangun pokok ‘aqidah.
Atas dasar itu, ketika kami beramal dengan hadits ahad sama sekali tidak berarti bahwa, kami mengerjakan perbuatan tersebut tidak didasarkan pada motivasi iman.
Perhatikan juga contoh berikut ini. Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata “menyentuh” pada ayat tentang bersuci. Sebagian ulama –madzhab Syafi’iy— berpendapat bahwa kata “menyentuh” di ayat tersebut diartikan secara hakiki. Artinya, jika orang yang telah berwudlu’ menyentuh wanita, maka batal wudlu’nya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa kata menyentuh di situ bermakna “bersetubuh”. Walhasil, seseorang tidak batal wudlu’nya bila menyentuh wanita, kecuali jika ia telah menyetubuhinya. Tentunya, bagi orang yang memegang pendapat pertama menyandarkan perbuatannya dengan dalil yang dilalahnya dzanniy. Dengan kata lain ia berbuat dengan bersandar kepada prasangka kuatnya (dzan) dan tidak didasarkan pada sesuatu yang menyakinkan. Namun demikian, tidak boleh disimpulkan bahwa kedua orang itu beramal tanpa dengan motivasi dan landasan keimanan.
Jadi tidak benar, ketika kami mengerjakan sebuah perbuatan yang didasarkan pada hadits ahad tidak dibarengi dengan keimanan. Yang benar adalah, kami menyakini bahwa, tatkala kami mengerjakan perbuatan yang disandarkan pada hadits ahad, itu memang karena diperintahkan Allah. Sebab, Allah tidak mensyaratkan bahwa dalil yang membangun perbuatan harus dalil yang menghasilkan keyakinan.
Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi saw bersabda:
"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka" .
Ini menunjukkan bahwa tatkala Rasulullah menjatuhkan vonis, beliau tidak menyandarkan pada dalil (bukti) yang menyakinkan. Sebab, kesaksian yang disampaikan kepada beliau tidak menyakinkan. Bahkan beliau menyatakan bahwa vonis beliau bisa jadi salah. Akan tetapi, beliau tetap menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian yang beliau anggap kuat (ghalabat dzan). Beliau menjatuhkan saksi bukan karena dalil (bukti) yang menyakinkan. Padahal, penjatuhan vonis termasuk bagian dari amal. Ini menunjukkan bahwa amal tidak harus disandarkan dengan dalil yang qath’iy.
Lalu, apakah anda akan mengatakan, bagaimana Rasulullah bisa menjatuhkan vonis sedangkan dalil yang membangun vonis tersebut tidak menyakinkan? Apakah anda akan menyimpulkan bahwa Rasulullah saw mengerjakan suatu perbuatan namun tidak didasarkan pada keimanannya?
Walhasil, kami tidak mengingkari atau menolak hadits ahad. Sebab, mengingkari hadits ahad sama dengan mengingkari orang yang adil. Akan tetapi, ada dalil lain yang menunjukkan bahwa, Al-Quran telah melarang kita mengambil dalil-dalil dzan dalam perkara ‘aqidah. Sedangkan dalam perkara hukum hadits ahad wajib untuk diamalkan dan sah digunakan sebagai hujjah.
Demikianlah, kami telah menjelaskan kepada anda dengan penjelasan yang jelas dan gamblang. Seluruh penjelasan di atas telah menjelaskan bahwa hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Pendapat ini merupakan pendapat terkuat yang wajib untuk diikuti. Siapa saja yang menolak perkara ini sungguh ia telah merendahkan akal pikirannya sendiri. Semoga Allah menyadarkan orang-orang yang bebal, dan menunjukkan orang-orang yang ragu.
Wahai kaum Muslim, berhati-hatilah kalian dalam perkara ‘aqidah ini. Sebab, ‘aqidah yang bersih menjadi jaminan keselamatan kita. ‘Aqidah bersih yang sanggup memurnikan dan mensucikan ‘aqidah Islam hanya akan tegak dengan hujjah yang kuat dan menyakinkan.
Di sisi yang lain, menegakkan syari’at Allah dengan tertegaknya Khilafah Islamiyyah merupakan refleksi tauhid uluhiyyah yang paling tinggi. Mengabaikan perkara ini akan menjatuhkan siapapun ke lembah dosa dan kehinaan. Mengapa kita tidak segera terhimpun dan bersatu untuk menegakkan kembali Khilafah yang agung ini, agar syari’at Allah bisa diterapkan secara kaamil dan syamil; dan agar tauhid uluhiyyah kita tidak terkotori? Mengapa kita tidak menyibukkan diri untuk urusan ini? Sementara itu kita malah asyik masyuk dengan masalah ikhtilaf yang sampai hari kiamat tidak akan pernah selesai?

BAB VII
SIKSA KUBUR



Adanya siksa kubur banyak disebutkan di dalam sunnah. Akan tetapi, juga banyak ayat di dalam al-Quran yang menunjukkan tidak adanya siksa sebelum hari kiamat. Misalnya firman Allah swt, artinya,
"Dan janganlah sekali-kali kamu (Mohammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak." (Ibrahim:42).
"Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, "mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat saja". Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran)." (al-Ruum:55)
"Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata, "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-RasulNya." (Yasiin:51-52).
Ayat-ayat ini menunjukkan dengan jelas tidak adanya siksa sebelum hari kiamat. Meskipun demikian, di dalam sunnah banyak dituturkan tentang adanya siksa kubur, bahkan sebagian ahli hadits menyatakan bahwa hadits-hadits tentang siksa kubur mencapai derajat mutawatir maknawiy.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, ada nash yang menyatakan adanya siksa kubur, sedangkan nash yang lain menafikan adanya siksa sebelum hari kiamat. Bila dipandang sekilas, kedua kelompok nash-nash ini saling bertentangan satu dengan yang lain. Lalu, bagaimana kita mengkompromikan nash-nash yang bertentangan tersebut?
Pada dasarnya, wahyu dari Allah swt tidak mungkin saling bertentangan. Atas dasar itu, pertentangan-pertentangan yang terdapat di dalam nash tidak boleh dipandang sebagai pertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, akan tetapi harus diupayakan untuk dikompromikan untuk menyelamatkan nash dari pertentangan. Allah swt telah berfirman, artinya:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? Kalau sekiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah swt, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”[al-Nisaa’:82]
Benar, banyak hadits menuturkan tentang siksa kubur. Beberapa ayat al-Quran juga mengisyaratkan adanya siksa kubur. Namun demikian, ayat-ayat tersebut dilalahnya (penunjukkannya) tidak qath'iy. Kami akan mengetengahkan sebagian ayat tersebut. Allah swt berfirman, artinya,
"Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)
"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27)
"Kalau kamu melihat ketika pada malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata),"Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar," (tentulah kamu akan merasa negeri). (al-Anfaal:50)
Ayat terakhir surat al-Anfaal ini dalalahnya qath'iy, bahwa malaikat menyiksa orang kafir saat mencabut nyawa mereka. Ayat seperti itu juga disebutkan dalam surat Mohammad, "Bagaimanakah keadaan mereka apabila para malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? (Mohammad:27). Juga dalam surat al-An'am, "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang dzalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, sambil berkata, "Keluarkanlah nyawamu" (al-An'aam:93).
Ayat-ayat di atas tidak menunjukkan adanya siksa kubur, namun menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Ayat-ayat semacam ini tidak menunjukkan secara pasti (qath’iy) tentang adanya siksa kubur, akan tetapi hanya menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Karena dilalahnya tidak qath’iy, ayat-ayat ini tidak boleh dijadikan dalil untuk menyakini adanya siksa kubur. Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada nash-nash yang dilalahnya pasti (qath’iy) .

Penjelasan Mengenai Surat al-Ghafir : 46 & Ibrahim:27 dan Jalan Komprominya
Surat al-Ghafir ayat 46 dan surat Ibrahim ayat 27 adalah surat Makkiyah. Dalam shahih Bukhari dan Muslim, Musnad Ahmad dituturkan dengan sangat jelas, bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui siksa kubur kecuali ketika di Medinah. Itupun pada saat terakhir ketika terjadi gerhana matahari, dan kematian puteranya Ibrahim. Disebutkan dalam shahih Bukhari, "Dari 'Amrah binti 'Abd al-Rahman dari 'Aisyah isteri Nabi saw, bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada 'Aisyah. Kemudian 'Aisyah bertanya kepada mereka, "Apakah kamu berlindung kepada Allah dari siksa kubur? Kemudian 'Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, "Apakah manusia akan disiksa di dalam kuburnya? Rasulullah saw menjawab, "Berlindunglah kepada Allah dari hal itu!" (Fath al-Baariy, juz.2, hal.431).
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan isnad atas syarat Bukhari dari Sa'id bin 'Amru bin Sa'id al-Amwiy dari 'Aisyah ra, "Orang-orang Yahudi ingin melayani 'Aisyah, akan tetapi mereka tidak mendapat kebaikan apapun dari 'Aisyah, kecuali mereka bertanya kepada 'Aisyah, "Apakah kamu berlindung kepada Allah dari siksa kubur?" 'Aisyah berkata, "Saya kemudian bertanya kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah apakah di dalam kubur ada siksa? Rasul menjawab, "Dustalah orang Yahudi!" Tidak ada siksa kecuali pada hari Kiamat. Kemudian beliau diam. Setelah itu atas kehendak Allah tetap diam. Kemudian pada suatu hari, yaitu ketika tengah hari, beliau menyeru dengan suara yang tinggi, "Wahai manusia mohonlah kepada Allah dari siksa kubur. Sesungguhnya siksa kubur adalah haq".
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan Ibnu Syihaab dari 'Urwah dari 'Aisyah ra berkata, "Seorang wanita Yahudi mendatangiku ('Aisyah) dan bertanya, "Apakah kamu merasa bahwa kamu akan disiksa di dalam kubur? Kemudian Aisyah datang kepada Rasulullah saw dan berkata, "Sesungguhnya orang Yahudi disiksa (di dalam kubur), kemudian 'Aisyah berkata, "Kemudian Rasulullah diam selama satu malam.kemudian berkata. "Apakah kamu merasa, bahwa telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan disiksa dalam kubur?" 'Aisyah berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw berlindung dari siksa kubur."
Allah swt berfirman, "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27). Ini adalah surat Makiyyah yang mengisyaratkan adanya siksa kubur.
Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata, "Bukhari berkata, hadatsana....dari Bara' bin 'Aazib ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Seorang Muslim bila ditanya di dalam kubur akan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Mohammad Utusan Allah.” Ini senada dengan firman Allah, artinya, "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27). Imam Muslim juga meriwayatkan hadits, dan sebagian Jama'ah. “ Walhasil, sebagian ‘ulama tafsir telah menyatakan, bahwa surat Ibrahim ayat 27 ini mengisyaratkan adanya siksa kubur. Namun, kesimpulan ini disandarkan dari mafhum bukan manthuq ayat tersebut --Ibrahim ayat 27.
Pada ayat lain, Allah swt telah berfirman, artinya, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)
Imam Ibnu Katsir berkata, "Ayat ini adalah ayat paling asal, yang digunakan istidlal oleh ahlu sunnah tentang adanya siksa barzakh di dalam kubur.” Selanjutnya, Ibnu Kastir berkata,"Tidak ragu lagi bahwa ayat ini adalah ayat Makiyyah".
Kita bisa mengajukan pertanyaan kritis atas tafsir kedua surat di atas –surat Ibrahim;27 dan al-Ghafir:46. Bagaimana mungkin dua ayat ini bisa digunakan dalil untuk menunjukkan adanya siksa kubur, padahal ayat-ayat ini turun di Mekah sebelum hijrah? Sedangkan Rasulullah saw tidak mengetahui siksa kubur kecuali setelah beliau berada di Medinah dan saat-saat akhir beliau? Ayat itu tidak mungkin berbicara tentang siksa kubur, sebab Rasulullah saw tatkala di Mekah belum mengetahui tentang adanya siksa kubur. Beliau mengetahui siksa kubur setelah berada di Medinah. Lalu, bagaimana jalan komprominya? Para ‘ulama berusaha memecahkan persoalan ini dengan berbagai macam pendekatan.
Imam Ibnu Katsir berupaya untuk menjawab persoalan ini, dengan menyatakan,”Jawabnya adalah, surat al-Ghafir:46 ini, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat.", menunjukkan, bahwa siksa neraka akan ditampakkan kepada arwah pada saat pagi dan petang di alam barzakh. Ayat ini tidak menunjukkan siksa atas jasadnya di dalam kubur. Sebab yang demikian itu dikhususkan untuk ruh. Adapun yang terjadi pada jasad di dalam barzakh dan penyiksaannya, tidak ditunjukkan oleh ayat tersebut, namun ditunjukkan dalam sunnah”. Kemudian beliau menyambung, "Ada yang menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan penyiksaan terhadap orang kafir di barzakh, akan tetapi, ayat itu tidak berhubungan dengan siksa bagi kaum Muslimin atas dosa-dosanya di dalam kuburnya.”
Imam Ibnu Hajar juga berupaya memecahkan persoalan itu sebagai berikut, "Sungguh hal ini sangat sulit, sebab surat Ibrahim :27 dan al-Ghafir:46 adalah surat Makiyah. Pemecahannya adalah sebagai berikut,” Adanya siksa kubur lebih tepat diambil dari jalan mafhum (kontekstual). Surat Makiyah itu menunjukkan, bahwa siksa kubur adalah siksa kubur yang ditujukan bagi orang yang tidak memiliki iman. Manthuq (tekstual) pada surat al-Ghafir:46, menunjukkan bahwa siksa kubur tersebut akan ditujukan kepada Fir'aun dan pengikutnya, serta bagi orang yang termasuk dalam golongan orang-orang kafir. Sedangkan yang diingkari oleh Rasulullah saw –dalam hadits riwayat ‘Aisyah-- adalah terjadinya siksa kubur atas orang-orang yang mentauhidkan Allah. Selanjutnya, Rasulullah saw mengetahui bahwa siksa kubur itu bisa terjadi pada orang yang dikehendaki oleh Allah dari golongan orang mukmin. Kemudian Rasulullah saw menetapkannya, mengingatkan akan adanya siksa kubur, dan menyampaikan agar berlindung dari siksa kubur, sebagai pemberitahuan, dan petunjuk bagi umatnya. Maka selesailah ta'arudl (pertentangan ayat tersebut) dengan pujian kepada Allah swt”. Inilah pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalaniy.[lihat Fath al-Baariy, Juz. III, hal. 183]
Walhasil, menurut Imam Ibnu Katsir, surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27 hanya menunjukkan tentang dinampakkannya siksa neraka bagi para arwah di alam barzakh. Masih menurut beliau, ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya siksa atas jasad di dalam kubur. Sebab, siksa yang terjadi di alam kubur hanya akan menimpa pada ruh, bukan jasad. Beliau menambahkan, ayat ini tidak menunjukkan adanya siksa atas jasad di alam barzakh.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengkompromikan pertentangan tersebut dengan penjelasan sebagai berikut; Surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27 hanya menunjukkan adanya siksa bagi orang-orang kafir di dalam kuburnya. Tatkala, Rasulullah saw masih di Mekah beliau telah mengetahui adanya siksa kubur bagi orang kafir, namun beliau belum memahami, apakah orang mukmin juga akan dikenai siksa kubur. Setelah beliau di Medinah, barulah beliau mengetahui bahwa siksa kubur itu bisa mengenai kaum mukmin. Jadi, penolakan tentang adanya siksa kubur pada hadits riwayat ‘Aisyah itu, hanya berhubungan dengan penolakan beliau atas adanya siksa kubur bagi orang mukmin, bukan penolakan adanya siksa kubur atas orang kafir. Beliau telah memahami sejak di Mekah, bahwa siksa kubur itu akan ditimpakan kepada orang kafir. Namun beliau belum mengetahui, apakah siksa kubur itu bisa juga dijatuhkan kepada orang mukmin. Setelah di Medinah, barulah beliau mengetahui bahwa orang mukmin juga bisa terkena siksa kubur.
Bila dikaji secara mendalam, baik Ibnu Hajar maupun Ibnu Katsir belum menyelesaikan secara tuntas persoalan ini. Keduanya hanya melihat dari satu sisi belaka, dan mengesampingkan sisi yang paling penting; yaitu, apakah boleh bagi Rasulullah saw menyampaikan sesuatu –yang berhubungan dengan masalah agama-- tanpa ilmu pengetahuan. Apakah boleh bagi rasul salah dalam tablighnya, dan berkali-kali melakukan kesalahan?"
Permasalahan mengenai siksa kubur berbeda dengan permasalahan penyerbukan kurma; sehingga bila Rasulullah saw salah dalam masalah tersebut, beliau saw bisa berkata, "Kalian lebih mengerti urusan kalian." Persoalan adanya siksa kubur menyangkut persoalan kemurnian agama Islam. Masalah ini juga berhubungan dengan masalah ghaib. Tak seorangpun bisa memahami alam ghaib, kecuali ada keterangan dari Allah swt. Bila Rasulullah saw ditanya perkara semacam ini, beliau tidak memberikan jawaban, sampai datangnya wahyu dari Allah swt. Sebagian ‘ulama dan ahli ilmu menyatakan, bahwa “pertentangan nash-nash ini sangat sulit untuk dikompromikan ”. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa hadits 'Aisyah dengan wanita Yahudi harus ditolak dirayahnya (dari sisi matannya). Langkah ini mereka tempuh untuk menghindari penakwilan-penakwilan yang justru telah menyimpang dan bertentangan dengan nash-nash yang qath’iy tsubutnya.
Walhasil, kami berpendapat bahwa nash-nash yang berbicara tentang siksa kubur, dalalahnya tidak qath'iy, baik siksa kubur yang berhubungan dengan ruh saja, atau ruh dan jasad. Ibnu Hajar berkata," Pengarang (Bukhari) tidak mengingkari penjelasan mengenai adzab kubur yang menimpa atas ruh saja, atau atas ruh dan jasad. Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat yang sangat masyhur di kalangan para 'ulama mutakalimin. Masalah ini seakan-akan telah ditinggalkan. Sebab, dalalah yang ditunjukkan tidak qath'iy (pasti). Tidak ada nash yang menunjukkan secara pasti, yang mengarah pada salah satu dari dua penunjukkan itu (ruh saja, atau ruh dan jasad). Walhasil, tidak satu hukum saja yang bisa diambil dalam masalah ini. Dan cukuplah dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini, yakni orang (yang berpendapat) menafikan sama sekali 'adzab kubur, sebagaimana orang-orang Khawarij dan sebagian 'ulama Mu'tazilah semisal, Dlarar bin 'Amru, Basyar al-Marisiy; dan orang yang menerima adanya siksa kubur". [Fath al-Baariy, juz.3, hal. 180]. Ibnu Hajar menyambung, "Ibnu Haram dan Ibnu Habirah menyatakan bahwa persoalan ini terjadi pada ruh saja, tidak menimpa pada jasad. Jumhur 'ulama menolak pendapat ini dan berkata, "..terjadi pada ruh dan jasad." Kompromi dari dua pendapat ini adalah, siksa kubur itu hanya terjadi pada ruh saja. Adapun mengenai mayit yang bersaksi dalam kuburnya, ini adalah masalah yang berbeda, dan (juga) tidak berhubungan dengan diamnya mayit di kubur, atau yang lain, atau sempit atau luasnya kubur mereka. "[hal.182].
Adapun firman Allah swt, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang" (al-Ghafir:46), dalalahnya tidak pasti (qath'iy). Ayat ini memberikan arah pengertian bahwa penyiksaan itu ada yang terjadi sebelum hari kiamat. Namun ada pula ayat yang memberikan arah pengertian yang bertentangan, yakni, siksa itu hanya akan terjadi pada hari kiamat. Nash-nash seperti ini cukup banyak. Allah swt berfirman dalam surat al-Kahfi, "..kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya. Dan kami nampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas." (18:99-100).

Penjelasan Tentang Surat al-Ghafir:46, Beserta Jalan Komprominya
Allah swt telah berfirman, artinya, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)
Sebagian orang berpendapat bahwa kata "yaum taquumu al-saa’ah” (hari kiamat) yang disambungkan pada kata "ghadwan wa ghasyiyyan" (pada pagi dan petang) adalah dua hal yang terjadi pada dua keadaan yang berbeda. Mereka menyatakan, bahwa neraka yang ditampakkan pada “pagi dan petang” itu terjadi sebelum hari kiamat, bukan terjadi pada hari kiamat. Dengan penjelasan semacam ini, mereka ingin berdalil dengan ayat ini, bahwa siksa itu bisa saja terjadi sebelum hari kiamat, yakni adanya siksa kubur. Pendapat ini tidak tepat. Sebab 'athaf tidak selalu menunjukkan dua keadaan yang berbeda (terpisah). Misalnya, Allah swt berfirman, "Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui." (al-Zukhruf:84). Seandainya wawu 'athaf selalu menetapkan bahwa ma'thuf (yang disambung) berbeda (terpisah) sama sekali dengan ma'thuf 'alaihi (yang menyambung), maka ayat tersebut (al-Zukhruf) memiliki makna bahwa ilah (sesembahan) di langit berbeda (terpisah) dengan ilah di bumi. Maha Suci Allah Tidak ada Tuhan selain Dia.
Walhasil, firman Allah swt, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46); harus dibawa kepada pengertian, bahwa neraka akan ditampakkan kepada mereka setelah peniupan sangkakala pada awal terjadinya hari kiamat Pada saat itulah, awal terjadinya 'adzab (siksa). Selanjutnya, mereka dimasukkan ke dalam siksa yang sangat pedih.
Namun demikian, hadits shahih yang meriwayatkan tentang adanya siksa kubur jumlahnya sangat banyak. Ibnu Hajar menyatakan, "Ada hadits-hadits yang meriwayatkan tentang siksa kubur selain hadits-hadits ini (kemudian ia menyebut enam buah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pada bab ini), sebagian diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Abu Ayyub, Said, Zaid bin Arqam, Ummu Khalid dalam shahih Bukhari Muslim atau di salah satu dari keduanya; juga dari Jabir, Abu Sa'id menurut Ibnu Mardawaih, dari 'Umar, 'Abd al-Rahman bin Hasanah, dan 'Abd al-Amru menurut Abu Dawud, dan dari Ibnu Mas'ud menurut al-Thahawiy, dari Abu Bakrah, Asma' bin Yazid menurut al-Nasaiy, dan dari Ibnu Mubasysyir menurut Ibnu Abi Syaibah, dan dari selain mereka." [Fath al-Baariy; juz.III, hal.186]
Sebagian 'ulama menyatakan, bahwa hadits ini telah mencapai derajat mutawatir. Seandainya tidak ada nash-nash yang saling bertentangan, sungguh kami juga akan menyatakan bahwa hadits tentang siksa kubur mutawatir. Akan tetapi nash-nash tersebut “bertentangan” sehingga menurunkan derajat kemutawatirannya. Sebab, kemutawatiran sebuah khabar tidak hanya disandarkan kepada jumlah yang banyak saja. Namun, ada persoalan lain yang lebih penting, yakni menyelamatkan khabar dari pertentangan. Kemutawatiran sebuah khabar bisa diragukan, jika maknanya saling bertentangan. Imam Al-Amidy berkata, "Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah minimal yang dapat menghasilkan 'ilmu (kepastian). Sebagian menyatakan, 5 orang. Sebab, , jika kurang dari lima orang, misalnya, empat orang saksi yang bersaksi dalam masalah syari'ah, maka qadli boleh menetapkan hukum berdasarkan kesaksian empat orang yang bersepakat pada suatu tujuan yang dzanniy. Seandainya 'ilmu (kepastian) dihasilkan dari pendapat empat orang, mengapa bisa terjadi seperti itu (ada kesepakatan dalam hal yang dzanniy)? Qadli Abu Bakar memutuskan bahwa empat adalah jumlah yang kurang. Beliau juga masih meragukan lima orang. Sebagian 'ulama menyatakan jumlah minimal perawi adalah 12 orang, ada pula yang menyatakan paling sedikit 20. Ada pula yang menyatakan 40, 70, 313. Ada pula yang menyatakan bahwa jumlah minimal yang mengantarkan ilmu hanya diketahui oleh Allah, dan kita tidak mengetahui. Dan ini yang terpilih. "[al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz.II/39] Beliau menambahkan, "Di samping jumlah, jaminan kemutawatiran sebuah berita adalah ilmu yang dihasilkan oleh perkataan para pembawa berita (rawi), bukan ilmu yang dihasilkan oleh jumlah tertentu." Kemudian beliau menyatakan lagi, "Oleh karena itu, kami berpendapat, bahwa jaminan mutawatir adalah ilmu yang dihasilkan dari sebuah berita. Berita yang tidak menghasilkan ilmu tidak boleh dijadikan sandaran untuk berdalil. Sebab, dalilnya sendiri telah jatuh ke dalam wijdaan (persangkaan). Ini adalah syarat-syarat yang telah diakui keabsahannya untuk menetapkan kemutawatiran sebuah berita."
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Imam Ahmad, dll dari 'Aisyah ra, tentang perempuan Yahudi, menyatakan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw menafikan adanya siksa kubur bagi manusia di alam barzakh sebelum hari kiamat. Kemudian, datang wahyu kepada beliau dan mengabarkan bahwa siksa kubur adalah haq (benar). Hadits ini pun, maudlu'nya masih mengandung perselisihan.

Penjelasan Mengenai Ayat-Ayat Tentang Penangguhan Siksa Hingga Hari Kiamat
Al-Quran telah menyatakan,"Dan janganlah sekali-kali kamu (Mohammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak." (14:42). Ayat ini ma'udlu'nya juga masih mengandung perselisihan. Ayat ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Allah swt memberi tangguh siksa atas orang-orang yang dzalim hingga hari kiamat. Sebab, yang dimaksud dengan “hari dimana mata mereka terbelalak” adalah hari kiamat. Ayat-ayat yang senada dengan ayat tersebut, adalah,
"Jikalah Allah menghukum manusia karena kedzalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya." (al-Nahl:61).
"Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makluk yang melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan mereka) sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hambaNya." [35:45]. Al-Ajal al-Musammay (waktu yang ditentukan) adalah hari kiamat.
Secara qath’iy, ayat-ayat ini menunjukkan adanya penangguhan siksa hingga hari kiamat. Sebab, dalalah yang ditunjukkan oleh ayat-ayat di atas adalah qath'iy. Akan tetapi, ada hadits-hadits shahih yang mengkhususkan pengertian ayat tersebut. Hadits-hadits tersebut menjelaskan, bahwa Allah swt telah mendahulukan beberapa siksa, sebagian diwujudkan di dunia, sebagian lagi diwujudkan di akherat; dan sebagian besar lagi kelak di hari akhir. Mengkhususkan pengertian yang ada di dalam al-Quran dengan sunnah, adalah perkara yang telah disepakati. Walhasil, seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa ayat-ayat tersebut –yang berbicara tentang penangguhan siksa-- tidak mungkin dikompromikan dengan hadits-hadits tentang siksa kubur. Selain itu, hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur tidak boleh ditolak dirayahnya, hanya karena “bertentangan dengan ayat-ayat tersebut di atas”. Akan tetapi, harus dibawa kepada takhsiish al-quran bi al-Sunnah.

Penjelasan Tentang Surat Yasiin ; 51-52
Allah swt, "Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata, "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-RasulNya." (Yasiin:51-52). Mau'dlu' ayat ini pun masih mengandung keraguan. Ayat ini menggambarkan, bahwa orang-orang yang ada di dalam kubur, berada dalam kondisi tertidur. Ayat ini tidak menunjukkan, bahwa mereka terjaga (tidak tidur) di dalam kubur, atau dalam kondisi terkena siksa. Walhasil, ayat ini telah menafikan adanya siksa di dalam kubur. Mengkompromikan ayat ini dengan hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur --dengan jalan mentakhshih ayat ini dengan hadits-hadits tentang siksa kubur yang telah kami sebutkan sebelumnya-- adalah perkara yang sangat sulit. Sebab, kami tidak mendapatkan hadits shahih yang menjelaskan adanya masa jeda barzakh yang menceritakan tentang adanya siksa kubur dan kondisi bahwa si mayat tidak tidur di dalam kuburnya.
Sebagian shahabat dan tabi'in berdiam diri terhadap ayat ini dan hadits-hadits tentang siksa kubur. Imam Ibnu Katsir menyatakan, "Ubay bin Ka'ab, Mujahid, Hasan, dan Qatadah ra berkata, "Mereka tidur sebelum hari kiamat." Qatadah berkata, "Hal itu itu terjadi diantara dua tiupan, sehingga mereka mengatakan, "Siapakah yang membangkitkan kami dari tidur kami." Kompromi semacam ini dianggap sebagai jalan keluar.
Walhasil, pendapat yang menyatakan, " Pertentangan antara ayat ini dengan hadits-hadits tentang siksa kubur, tidak mungkin dikompromikan dengan berbagai bentuk kompromi”, adalah pendapat yang tidak tepat. Argumen semacam ini tidak bisa diterima. Seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa hadits tentang siksa kubur harus ditolak dirayahnya karena bertentangan dengan ayat ini.

Penjelasan Tentang Surat al-Ruum:55
Ayat lain yang berbicara tentang penangguhan siksa sebelum hari akhir, adalah surat al-Ruum:55. Al-Quran telah menyatakan, "Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, "mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat saja." (al-Ruum:55). Namun, maudlu' ayat ini juga mengandung keraguan. Yang menjadi pertanyaan adalah, dimanakah orang-orang yang berdosa itu tinggal pada waktu yang sangat singkat itu – seperti yang telah disampaikan oleh para pendosa itu? Sebagian ahli tafsir berkata, “Yang mereka maksud adalah tinggal di dalam kubur. Sebagian ahli tafsir lain menyatakan, bahwa yang mereka maksud adalah tinggal di dalam kehidupan dunia. Ada sebagian ahli tafsir yang menyatakan bahwa, yang mereka maksud adalah tidur, yakni mereka tidur diantara dua tiupan; antara tiupan yang mematikan seluruh makhluk, dan tiupan pada saat hari kebangkitan (qiyamah). Waktunya sekitar 40 tahun menurut sebagian atsar.
Orang yang mengambil penafsiran pertama akan menyatakan, bahwa ketika hari kiamat orang-orang yang berdosa itu bersumpah, bahwa mereka tinggal di dalam kuburnya dalam waktu yang sangat singkat, yakni sejak kematiannya sampai terjadinya hari kebangkitan. Orang yang mengambil penafsiran ini akan mendapatkan kesulitan. Jika mereka menafsirkan seperti itu, ia justru akan membawa ke arah pengertian, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidak mendapatkan siksa di dalam kuburnya. Sebab orang yang dikenai siksa di dalam kuburnya, akan merasakan waktu yang sangat panjang. Pendapat semacam ini tidak berarti menerima qiyas yang ghaib (tidak nampak) atas yang syahid (nampak); atau mengqiyaskan siksa kubur atas siksa dunia, akan tetapi nash itu sendiri yang menunjukkan pengertian tersebut.
Jika kita mengambil penafsiran kedua atau ketiga, bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di dunia (penafsiran ke dua), atau mereka tinggal diantara dua tiupan (penafsiran ke tiga), maka hal itu bukanlah perkara yang sulit. Akan tetapi, qarinah di dalam ayat itu dengan jelas menunjukkan bahwa mereka berdiam di dalam kubur mereka, sejak kematian mereka hingga hari kiamat, bukan tinggal di dunia. Qarinah ini terdapat pada ayat sesudahnya. Allah berfirman, "Dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir):"Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; maka inilah hari berbangkit itu, akan tetapi kamu selalu tidak menyakininya." (30:56).
Berdasarkan qarinah yang ditunjukkan oleh ayat ini, kalangan ahli 'ilmu dan iman menyatakan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di dalam kuburnya hingga hari kiamat, bukan berdiam di kehidupan dunia. Orang yang menafsirkan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di kehidupan dunia telah mengambil penafsiran yang salah.
Penafsiran yang menyatakan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidur diantara dua tiupan, adalah penafsiran yang tidak kuat. Bahkan, penafsiran semacam ini tidak bisa dikompromikan. Sebab, ia tidak didasarkan pada nash-nash syara'.
Namun, demikian agar kita keluar dari kesulitan ini, maka kami mengambil jalan keluar, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidur diantara dua tiupan sangkakala, dan mereka tidak tinggal di dalam kuburnya melainkan dalam waktu yang sangat singkat --sesaat di dalam tidurnya saja.
Hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur adalah shahih. Hadits-hadits itu masih mungkin untuk dikompromikan dengan ayat-ayat Quran yang maknanya terlihat kontradiksi. Seorang Muslim tidak boleh mengingkari hadits-hadits tersebut. Mengingkari hadits-hadits itu sama artinya mengingkari hadits shahih. Ini adalah perbuatan dosa. Sebab, mengingkari hadits shahih akan mengakibatkan tersia-sianya amal.
Namun demikian, dilalah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits siksa kubur adalah dzanniy. Keimanan seorang Muslim tidak boleh didasarkan kepada nash-nash yang tsubut dan dilalahnya dzanniy. Sebab, iman menuntut adanya pembenaran yang bersifat pasti. Pembenaran yang tidak sampai ke derajat pasti, tidak akan mengantarkan kepada keyakinan, atau keimanan.
Demikianlah, anda telah dijelaskan dengan gamblang, bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur, dilalahnya tidaklah qath’iy. Seandainya hadits-hadits tentang siksa kubur mutawatir dan tidak ada pertentangan makna dengan riwayat-riwayat mutawatir lainnya, tentu kita harus mengimani keberadaannya tanpa ada keraguan sedikitpun. Allahul Haadiy wal Muwaffiq ila Aqwaamith Thaariq