Selasa, 12 Mei 2009

Politikus Islam Sejati

Assalaamu'alaikum wr wb
Politikus dalam Demokrasi

Bagi masyarakat yang telah terbiasa hidup dalam jargon demokrasi, istilah politikus dipandang hanya untuk mereka yang terlibat dalam urusan pemerintahan, parlemen atau partai-partai politik yang melibatkan diri dalam pemilu untuk meraih kursi kekuasaan. Diluar ranah aktivitas tersebut, bukanlah aktivitas politik.

Lebih dari itu, demokrasi telah mengentalkan brand image seorang politikus sebagaimana fenomena para politikus ala Machiavellis. Para diktator-diktator besar seperti Hitler, Mustapha Kemal dan sederetan penguasa licik, jahat dan keji adalah murid-murid teladan yang menerapkan dengan sangat baik ”The Prince”, buku panduan para politikus, karya besar Machiavellis dalam sejarah Kapitalisme.

Akhirnya, mayoritas kaum muslimin pun memandang politik dan politikus dengan sudut pandang keliru ini. Politik dipandang sebagai aktivitas kotor dan alat keji yang jauh dari sifat akhlaqul karimah seorang muslim. Bahkan sadar ataupun tidak, seorang politikus muslim yang awalnya memiliki motivasi tulus untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang buruk, terperosok juga ke dalam langkah-langkah Machiavellis.

Dalam standar Machiavellis: ” Tujuan Menghalalkan Segala Cara”. Alam demokrasi telah menjebak manusia untuk mengkompromikan kebenaran dengan kebathilan. Demokracy is from the people, by the people and for the people, istilah yang dipopulerkan oleh Abraham Lincoln dan kini telah mengglobal di bawah payung Amerika Serikat. Ketika suara rakyat menjadi Tuhan, maka Hukum Syariat tidak boleh menjadi ukuran.

Demokrasi telah mendoktrin masyarakat untuk tidak menyebut-nyebut agama dalam pengaturan kehidupan bernegara. Hal ini melahirkan kalangan muslim yang anti politik, sebagai akibat citra kotor aktivitas politik. Namun di sisi lain, muncul para politikus muslim yang terjebak untuk berkompromi. Tak jarang terdengar penolakan kalangan ini terhadap istilah agama dan syariat. Mereka lebih merasa mulia mengemban istilah politikus demokratis dibandingkan dengan politikus Islam.


Politikus Islam Sejati

Fakta dan kebenaran sejarah telah mengungkapkan bahwa Suri Tauladan, Rasulullah Saw adalah seorang Politikus besar. Bahkan Michael H. Hart, cendekiawan As, Penulis buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah, telah menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai Tokoh Nomor Satu Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Hart mengatakan bahwa Muhammad Saw bukan semata pemimpin keagamaan, namun juga pemimpin duniawi. Kepemimpinan politiknya senantiasa berada terdepan sepanjang waktu.

Islam memang bukan agama yang hanya bersifat ruhiyah (spiritual), namun juga siyasiyah (politik). Terlaksananya seluruh hukum Islam (secara Kaffah) yang termaktub dalam Al Qur’an dan Al Hadits, hanya terwujud dalam bentuk Institusi Negara. Ada hukum-hukum Islam yang beban pelaksanaannya hanya ada di tangan negara, seperti perekonomian, peradilan, persanksian, pemerintahan dan lain-lain. Pelaksanaan hukum ini tidak di tangan perseorangan, sekelompok masyarakat atau partai, namun hanya di tangan Negara. Dengan demikian setiap muslim yang menyadari bahwa Islam harus diterapkan secara Kaffah, akan memahami bahwa politik dan perjuangan politik menjadi hal yang sangat penting. Rasulullah Saw adalah Pejuang Politik yang dengan Perjuangan Politiknya telah berhasil menegakkan Negara Islam di madinah dan dengan institusi Negara tersebut perjuangan dakwah Islam meluas ke seluruh penjuru dunia.

Islam telah menggariskan makna politik sebagai pengaturan urusan umat baik di dalam maupun luar negeri. Negara sebagai pihak yang mengurus kepentingan umat, sementara umat berperan melakukan koreksi terhadap pemerintah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hakim dan al-Khatib dari Hudzaifah ra, disebutkan bahwa ”barangsiapa yang bangun pagi dan tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin).” Hadits ini menunjukkan bahwa aktivitas mengurusi urusan umat adalah kewajiban seluruh kaum muslimin. Hal ini juga mengindikasikan wajibnya setiap muslim untuk berpolitik.

Di dalam Islam, seorang politikus tidak harus mereka yang memegang wewenang kekuasaan atau jabatan pemerintahan. Politikus juga bukan berarti mereka yang sarjana lulusan ilmu politik atau pemerintahan. Politikus adalah setiap mereka yang memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap problematika umat. Politikus adalah mereka yang memiliki kesadaran bahwa pengaturan seluruh urusan umat seharusnya dilaksanakan sesuai hukum-hukum syariat Islam. Politikus berarti mereka yang terjun langsung mengurusi urusan umat dan mengetahui bagaimana seharusnya penguasa mengatur umatnya sesuai syariat Islam.

Beberapa hal yang merupakan aktivitas politik adalah: 1) Menentang kebijakan penguasa yang zholim, meluruskan mereka agar tidak menyimpang dari penerapan syariat Islam; 2) menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa yang zholim; 3) memberikan kesadaran politik kepada masyarakat agar segala urusan mereka tegak di atas aqidah Islam dan bersandarkan pada syariat Islam. Dalam kondisi belum tegaknya Daulah Islam/ Khilafah Islamiyah, aktivitas politik yang paling penting adalah memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah, sebagai institusi yang berwenang menerapkan hukum-hukum Allah Swt. Rasulullah Saw telah memberikan suri tauladan bagaimana perjuangan politik menegakkan negara Islam. Diawali dari upaya membangun benih dakwah di Mekah, selanjutnya dakwah menyebar hingga menemukan tempat yang kondusif untuk menjadi benih negara Islam yang menerapkan seluruh hukum-hukum Allah Swt, dan yang menjadi negara pengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Dengan demikian, seorang politikus bisa jadi adalah para pedagang di pasar, petani di sawah, karyawan di pabrik, guru di sekolah, sopir-sopir angkutan, penjual sayur keliling bahkan para ibu rumah tangga. Dengan catatan mereka adalah orang-orang yang memiliki kesadaran politik Islam (sudut pandang berdasarkan aqidah Islam), memiliki kepedulian terhadap urusan umat dan melakukan aktivitas politik.

Para shahabat dalam perjuangan politik bersama Rasulullah Saw di Mekah, juga menjadi pemanggul dagangan mereka ke pasar sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar, menggembala ternak dan menempa besi-besi. Namun mereka senantiasa aktif menyampaikan dakwah Islam kepada masyarakat, mendebat pemuka-pemuka Quraisy atau mengungkap makar mereka kepada masyarakat. Mereka adalah politikus sejati yang menjadikan kehidupan dakwah sebagai poros seluruh aktivitas kehidupan.


Para Politikus Muslimah dalam Sejarah

Telah tercatat dengan tinta emas sejarah, beberapa aktivitas politik para shahabiyah. Antara lain yang pernah dilakukan oleh Asma’ binti Abu Bakar. Ia dengan beraninya telah mengantarkan perbekalan kepada ayahnya Abu Bakar dan Rasulullah Saw yang saat itu bersembunyi di Gua Tsur dalam perjalanan hijrah mereka ke madinah. Apa yang dilakukan Asma’ memiliki resiko yang sangat besar apabila diketahui oleh orang-orang Kafir Quraisy. Asma’ telah melakukan tugas politik yang penting, karena saat itu Rasulullah Saw telah dinanti-nanti oleh penduduk Madinah untuk menjadi pemimpin Negara Madinah, negara Islam pertama yang menjadi benih pertama Peradaban Islam.

Asma’ binti Yazid al-Asyhaliyah, juru bicara kaum wanita telah menyampaikan isi hati kaum wanita kepada Rasulullah Saw yang saat itu menjadi Kepala Negara Islam. Asma menanyakan tentang kedudukan dan nilai peran wanita di hadapan kaum laki-laki. Saat itu Asma’ berbicara di hadapan forum yang juga dihadiri oleh para shahabat (laki-laki). Apa yang dilakukan Asma’ mendapatkan pujian Rasulullah Saw.

Seorang muslimah di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab telah mengkritik kebijakan Umar tentang pembatasan jumlah mahar. Muslimah ini menyampaikan apa yang ada dalam al-Qur’an tentang tidak adanya batasan mahar bagi kaum wanita. Saat itu pula Khalifah Umar langsung mencabut kembali kebijakannya dan mengatakan,”wanita ini benar dan umar yang salah.”

Demikianlah masih banyak lagi tauladan para shahabiyah dalam melakukan aktivitas politik. Merekalah tauladan politikus perempuan. Mereka menyampaikan pendapat, menegakkan ’amar ma’ruf nahi munkar, mengkritik kebijakan penguasa, melakukan pembinaan kaum muslimah dan yang lebih penting lagi melahirkan generasi pemimpin Islam yang cerdas, tangguh dan gemilang. Sebagaimana yang telah dibuktikan dengan kecemerlangan kepemimpinan Hasan dan Husain bin Ali bin abi Thalib, Abdullah bin Zubair, Umar bin Abdul Aziz dan pemimpin-pemimpin muslim lainnya, melalui kerja keras pembinaan anak usia dini dari para ibu mereka. Sebuah peran berdimensi politik yang tak tergantikan oleh sekolah kependidikan politik manapun [Ir. Lathifah Musa, April 2009] VoI

Tidak ada komentar: