Selasa, 13 Januari 2009

Mengapa Yahudi Mengincar Bocah-Bocah Palestina?

Terjawab sudah mengapa agresi militer Israel yang biadab dari 27 Desember 2008 kemarin memfokuskan diri pada pembantaian anak-anak Palestina di Jalur Gaza. Seperti yang diketahui, setelah lewat dua minggu, jumlah korban tewas akibat holocaust itu sudah mencapai lebih dari 900 orang lebih. Hampir setengah darinya adalah anak-anak. Selain karena memang tabiat Yahudi yang tidak punya nurani, target anak-anak bukanlah kebetulan belaka.

Sebulan lalu, sesuai Ramadhan 1429 Hijriah, Khaled Misyal, pemimpin Hamas, melantik sekitar 3500 anak-anak Palestina yang sudah hafidz Alquran. Anak-anak yang sudah hafal 30 juz Alquran ini menjadi sumber ketakutan Zionis Yahudi. "Jika dalam usia semuda itu mereka sudah menguasai Alquran, bayangkan 20 tahun lagi mereka akan jadi seperti apa?" demikian pemikiran yang berkembang di pikiran orang-orang Yahudi.

Tidak heran jika-anak Palestina menjadi para penghafal Alquran. Kondisi Gaza yang diblokade dari segala arah oleh Israel menjadikan mereka terus intens berinteraksi dengan Alquran. Tak ada main video-game atau mainan-mainan bagi mereka. Namun kondisi itu memacu mereka untuk menjadi para penghafal yang masih begitu belia. Kini, karena ketakutan sang penjajah, sekitar 500 bocah penghafal Quran itu telah syahid
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Agresi Israel Di Gaza Bukti Ketakutan Zionis Terhadap Anak-Anak Palestina

Jangan anggap mereka seperti korban tsunami atau gempa bumi, yang patut dikasihani dengan obat merah, pakaian pantas pakai dan sembako. Hanya dalam tempo 5 hari pertama bombardemen, sudah hampir 500 warga Gaza, Palestina, tewas dibantai Israel. Ratusan di antaranya adalah anak-anak. Lebih 2000 warga lainnya luka-luka, banyak diantaranya bocah-bocah. Dan setiap 20 menit Israel terus mengebomi Gaza, sambil mengerahkan artelerinya ke perbatasan Gaza untuk menggempur lewat darat.

Sama sekali Israel tanpa ‘permisi’’ ketika menggempur Gaza sejak 27 Desember lalu, agar penduduk memiliki sedikit waktu untuk mengungsikan anak-anak mereka. Tidak. Serbuan Israel seketika dan tanpa pandang bulu. Bahkan rumah sakit khusus anak-anak pun dia hancurkan. Memang, anak-anak Palestina bukan anak-anak Indonesia. Ketika bocah Indonesia asyik main perang-perangan di playstation, anak Palestina perang beneran bersenjatakan ketapel melawan serdadu Israel. Saat anak Indonesia latah menyanyikan lagu Peterpan atau Dewi Persik, bocah Palestina meneriakkan mars jihad.

Ya, buat Israel, anak Palestina laksana Musa kecil buat Fir’aun. Anak-anak Palestina adalah bibit-bibit mujahid yang kelak bakal mengguncang kuasa Israel. Meski hanya dengan batu, meski hanya dengan ketapel. Karena itu, Israel selalu menjadikan anak-anak Palestina target operasi. Dunia belum lupa, pada 16 September 1982 malam PM Israel Ariel Sharon mengirim skuad pembunuh milisi Phalangist ke dua kamp pengungsi Palestina, Sabra dan Shatila. Kemudian, Sharon mengirim buldozer untuk ‘’membersihkan’’ hasil kekejamannya itu.

Sekurang-kurangnya 1500 pria, wanita, dan anak-anak Palestina dibantai di malam jahanam itu. Sebuah investigasi resmi pemerintah Lebanon menyebutkan angka korban mencapai 2.500 jiwa. Meski sudah dibuldozer, masih banyak korban tak terkuburkan. Para pekerja Palang Merah Internasional menemukan ratusan anak dan lansia dengan leher terpotong atau terburai isi perutnya.

Harian Israel, Ha’aretz, menyebutkan, Sharon juga yang memimpin pembunuhan massal di Desa Kibya pada 1953. “Tentara Mayor Ariel Sharon membunuh 70 warga Palestina dalam serangan balasan dendam, sebagian besar korban adalah anak-anak dan wanita’’ (Ha'aretz: As Long as He Doesn't Hurt Us Again, Feb. 16, 2001). Mantan PM Israel lainnya, Manachem Begin, dalam bukunya ‘’The Revolt: The Story Of The Irgun’’ membanggakan perannya dalam pembunuhan massal atas 254 rakyat Palestina di Deir Yassin.

Lagi-lagi, mayoritas korban adalah lansia, wanita, dan anak-anak. Anak-anak Palestina itu boleh menjerit-jerit kesakitan. Ibu-ibu mereka boleh menangis pilu. Bapak-bapak mereka boleh sedih. Tapi, jangan anggap mereka seperti korban tsunami atau gempa bumi, yang patut dikasihani dengan memberinya obat merah, pakaian pantas pakai, dan sembako. Bukan. Mereka memang tampak sedih dan sakit. Tapi pada saat yang sama mereka gembira dan bangga, karena terluka atau gugur di medan jihad. Surga, insya Allah, menanti mereka. (berbagai sumber)

Tidak ada komentar: