Tidak betul bila dikatakan masyarakat Papua itu identik dengan Kristen. Sebab kenyataanya orang asli Papua yang beragama Islam juga sangat banyak. Malah Islam lebih lebih dulu ada dan berkembang di daerah ini dibanding Kristen. Sejumlah Fakta sejarah membuktikan demikian. Namun kenapa Muslim di Papua tak terdengar suaranya? Berikut laporan wartawan Suara Islam, Pendi Supendi (seperti pernah dimuat di Tabloid Suara Islam edisi 43).
Sampai sekarang Irian Jaya (Papua) masih menyimpan banyak misteri. Itu wajar karena kenyataannya hampir 99 persen alam Irian masih terdiri dari hutan dan semak belukar yang sangat luas. Juga pegunungan dan bukit yang menjulang. Dari data 1993 luas hutan Irian diperkirakan mencapai 41.065.778 ha atau 99,00 persen dari total luas wilayah Irian, yakni 41.480.000 ha. Dengan kondisi alam seperti ini, wajar bila akhirnya banyak rahasia yang belum terungkap di bumi cendrawasih ini. Karena itu tidak aneh bila orang Irian dulu juga menyebutnya dengan Nuu Waar, atau tanah yang menyimpan rahasia.
Konsentrasi penduduk Irian tersebar di berbagai tempat khususnya di tepi-tepi pantai, pelosok pedalaman dan kawasan transmigrasi. Kebanyakan daerah-daerah itu, terutama di pedalaman, sangat sulit dijangkau orang dari luar, akibat keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi. Pun kalau pakai pesawat atau kapal, sangat tergantung pada alam.
Banyak orang di luar Irian punya anggapan bahwa penduduk Irian identik dengan Kristen. Anggapan itu muncul karena minimnya informasi Islam Irian selama ini. Sementara opini yang mereka terima hanya tentang Irian yang Kristen.
Sejak kedatangan penginjil ke Irian tahun 1855, penyebaran Kristen di daerah ini bisa dibilang cukup pesat dibandingkan Islam. Dengan dukungan dana dan fasilitas yang memadai, para misionaris berusaha menaklukkan penduduk Irian yang penuh misteri itu. Selain membangun banyak gereja, mereka pun menggunakan jaringan media untuk menyebarkan opini bahwa Irian itu Kristen. Alhasil banyak orang Irian yang dulunya muslim menjadi murtad.
Namun demikian, meski dakwah Islam di sana banyak menemukan kendala, Islam toh masih ada hingga sekarang. Umat Islam pun mulai bangkit dari ketertinggalannya.
Islam Agama Pertama
Tim ahli Pemerintah Daerah Fak Fak di tahun 2006 menyatakan bahwa Islam masuk ke Fak Fak, Irian Barat pertama kali pada tahun 1360 M, dengan kehadiran mubaligh Abdul Ghaffar asal Aceh di Fatagar Lama, Kampung Rumbati, Fak Fak. Rekomendasi penetapan awal masuknya Islam itu berdasarkan tradisi lisan yang disampaikan oleh putra bungsu raja Rumbati XVI (Muhammad Sisiq Bauw) dan Raja Rumbati XVII (H Ismail Samali Bauw).
Abdul Ghafar saat itu selain mencari rempah-rempah, juga menjalankan syiar Islamnya berupa melaksanakan shalat 5 waktu secara rutin. Setelah berdakwah lebih kurang 14 tahun, Abdul Ghafar kemudian wafat dan dimakamkan di belakang Masjid Rumbati, pada 1374 M.
”Kehadiran musafir Abdul Ghafar di Fatagar Lama pada tahun 1360 M dan juga disusul dengan Siti Masita dan pedagang Bugis-Bone sekitar 1502 M tidaklah merupakan sesuatu yang mustahil, karena dalam dokumen Negarakartagama di masa Raja Hayam Wuruk Kerajaan Majapahit, jazirah Onin telah tertulis dalam kitab tersebut dengan sebutan kata Ewanim dan Sran untuk sebutan Teluk Beraur/Bintuni,” demikian kesimpulan dari laporan hasil penelitian tim ahli.
Penyair Pranca dalam buku Negarakertagama abad ke 14 (1365 M), seperti ditulis FC Kamma, misionaris terkenal, memang melukiskan betapa luasnya Kerajaan Majapahit di Troloyo, Mojokerto. Di dalamnya ada daerah Onim (Fak Fak), yaitu sebuah daerah semenanjung yang terbagi atas sejumlah kerajaan mini, ketika itu sudah menghasilkan pala. Selain itu, juga budak yang dirampok dari Teluk Berau (kepala burung barat daya). Perdagangan budak dan buah pala itu rupanya sudah berada di tangan orang-orang Seram dan Goram, negeri asal datangnya raja-raja kecil yang kemudian bernama Ternate dan Tidore beralih masuk Islam.
Menurut versi lain, juga berdasar tradisi lisan yang disampaikan raja Patipi XVI, H Ahmad Iba, dan ahli sejarahnya sekaligus penasihat kerajaan Patipi, M Syahban Garamatan, dinyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Kerajaan Patipi itu abad ke 12. Islam dibawa langsung oleh Syekh Iskandarsyah, anak keturunan Raja Pasai saat itu. Ini dibuktikan dengan adanya mushaf Alquran dan beberapa kitab fikih dan tauhid yang ada di tangannya. ”Yang membawa kitab-kitab ini adalah keturunan dari Raja Pasai yang bernama Syekh Iskandarsyah, yang kemudian bertemu dengan raja pertama Patipi I, bernama Kris-Kris,” ujar M Syahban Garamatan.
Sesungguhnya masih banyak versi lain yang bercerita tentang sejarah masuknya Islam di tanah Irian, khususnya di Fak Fak. Pada seminar yang diselenggarakan panitia MTQ 2 Irian Barat, yang dilaksanakan 23 April 2008, di Winder Tuare, Aula Dinas Bupati Fak-Fak, para peserta seminar pun belum menemukan kesepakatan final tentang kapan masuknya Islam pertama kali ke Fak Fak. Para peserta seminar kemudian membentuk tim perumus untuk menetapkan kapan Islam masuk ke Fak Fak. Dan untuk sementara waktu diputuskan bahwa Islam masuk Fak-Fak abad ke-16 (tahun 1500-an).
Terlepas dari itu semua, semua catatan sejarah menunjukkan bahwa Islam lebih dulu datang di Irian, khususnya di Fak Fak, dibanding Kristen. Fak Fak (Jazirah Onin) sendiri merupakan pintu gerbang masuknya Islam di tanah Irian.Tokoh gereja pun mengakui itu.
”Dalam catatan, Evolusi Nasional Irian, yang ditulis oleh Marthen Vijay, kemudian dalam buku sejarah masuknya Islam dan Kristen di Irian yang ditulis oleh Pendeta Honin, sudah ada pengakuan-pengakuan itu,” kata Toni Victor M Wanggai, Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Yapis Irian Jayapura, pada Suara Islam, di Fak-Fak Selasa (23/4).
Hingga kini keberadaan Islam itu bisa dilihat nyata di hampir semua daerah di Irian. Beberapa perkampungan Muslim saat ini dianggap merupakan kelanjutan dari perkampungan Muslim masa lalu. Di Fak-Fak perkampungan Muslim itu bisa ditemukan di Kokas, Patipi, Rumbati, dan Semenanjung Onin dan Atiati. Di Sorong terdapat di Waigeo, Misool, Doom, Salawati, dan di Teminabuan. Di Manokwari ditemukan di Baboo dan Teluk Arguni. Di Jayapura bisa ditemukan di Walesi, Hitigima, dan Kurima. Perkampungan Islam juga bisa ditemukan di daerah Kaimana, Teluk Bintuni, Raja Ampat, Fatagar, Mamote dan lainnya.
Di sana banyak ditemui masjid-masjid dan orang Irian asli yang memakai busana Muslim. Di Fak-Fak sendiri malah ada Masjid Tua yang tetap kokoh berdiri, yakni Masjid Patemburak, di Distrik Kokas. Masjid ini didirikan pada tahun 1870.
Di Teluk Bintuni, seperti dikatakan H Umar Barawiri, Kepala Depag Kabupaten Teluk Bintuni, Islam sudah ada beberapa abad yang lalu. Sampai sekarang mereka masih hidup dan tetap pada prinsipnya, mengimani pada Islam. Aturan-aturan yang diajarkan Alquran dan Sunnah juga masih mereka pertahankan. Dakwah di sana juga terus berjalan. ”Sekarang kami berupaya bagaimana ke depan sinar-sinar Islam itu bisa bersinar di seluruh daerah di Bintuni, ” ujarnya. Caranya, dengan membangun lembaga pendidikan seperti pesantren dan madrasah.
Di Manokwari, daerah yang dulu direncanakan sebagai Kota Injil, karena dianggap sebagai tempat masuknya Injil pertama kali di tanah Irian, ternyata Islam juga lebih dulu ada di sana. Muhammad Hasan Rombobiar (Romander), mengatakan bahwa nenek moyangnya dulu yang bernama Mayor Kru Romander, kepala Kampung Munukwar (Manokwari) adalah orang yang pertama menerima Islam. Kru Romander dan istrinya bernama Boki Fatimah masuk Islam setelah bertemu dengan Sultan Tidore, Danong Muhamad Altir dan Danan Muhamad Hasan pada tahun 1811.
Setelah mempelajari Islam, akhirnya mereka masuk Islam pada tahun 1825 M. Tiga puluh tahun kemudian, yakni pada tahun 1855 baru Injil masuk ke Manokwari, tepatnya di Pulau Mansinam. Misionaris yang datang dari Jerman itu bernama CW Attow dan GJ Geisler. ”Yang membawa misionaris ke sana malah Sultan Tidore sendiri,” ujar Hasan. Sejak itulah, lanjutnya, Kristen mulai menyebar di Manokwari dan kemudian menyebar ke daerah lain di Irian.
Kenapa orang Islam saat itu banyak yang beralih ke Kristen? Zaenudin, salah seorang tokoh masyarakat di suku Irarutu, Teluk Bintuni, mengatakan, ”Karena saat itu tidak adanya imam dan kurangnya pembinaan terhadap umat Islam. Akhirnya mereka termakan bujuk rayu misionaris untuk masuk Kristen karena iming-iming materi.”
Saat ini juga, kata Zaenudin, komunitas muslim yang ada di pedalaman masih kurang mendapatkan pembinaan Islam. ”Karena itu sebulan sekali atau tiga bulan sekali kami minta ada da’i dari Jakarta untuk membina kami,” ujarnya. [pendi/www.suara-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar