Minggu, 19 Oktober 2008

Menerawang Akar Krisis Umat Manusia

Baca tuh di koran-koran….
daging naik sekilo tujuh puluh ribu…
cabe merah naik….
biaya Sekolah naik…..
bensin naik….
biaya angkot naik….
harga emas naik…
semua naik

----

Ocehan seorang tua yang nampak seperti sakit jiwa di depan stasiun Bulan-bulan Bekasi tadi pagi, sambil bersandar di tanda lalu lintas lintasan kereta api dengan mengacung-acungkan gulungan koran yang dibacanya.

====

Belakangan ini banyak manusia penghuni bola Bumi yang semata wayang ini lagi gonjang-ganjing perasaannya maupun pikirannya. Pasalnya adalah krisis keuangan yang menjalar bak gelombang Tsunami ke seluruh dunia. Sumbernya berasal dari negeri Paman Sam (Amerika Serikat). Walaupun sering disebut-sebut krisisnya di lantai bursa, toh tak luput kalau kita yang cuma bengong di depan TV atau melihat dengan serius pun ikut gonjang-ganjing pula. Meskipun sebatas pikrian dan perasaannya saja, apa yang terjadi disana sedikit banyak berpengaruh juga pada kita yang disini. Padahal boro-boro punya duit dollar, simpanan di bank juga mungkin habis lebaran ini sudah sampai tingkat minimum. Tapi namanya juga masih-manusia ada satu sifat dasar yang pokok yaitu rasa ingin tahu. Inipun berlaku pada krisis keuangan yang melanda dunia akhir-akhir ini.

Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi? Dimana sebenarnya akar krisisnya? Didalam sistem yang dijalankan yaitu sistem ekonomi kapitalis, praktek pelaksanaan operasionalnya (neo liberal), hukum-hukumnya, atau justru pada perilaku para aktor didalam sistem yaitu manusia? Nah kalau kita setidaknya tahu jawabannya dan cara mengatasinya bolehlah kita berkata “everything under control”.

Akar Krisis

Akar krisis umat manusia sebenarnya sudah lama diketahui yaitu bermuara pada akhlak dan perilaku manusia sendiri. Lebih dari 14 abad yang lalu seorang Nabi dan Rosul yang ummi pun menyadari hal ini sehingga ia pun menyampaikan misinya sebagai Juru Bicara Tuhan untuk memuliakan manusia dan akhlaknya yang mempunyai penyakit kronis untuk menjadi lalai sampai tercela hingga gila. Pandangannya untuk melaksanakan Misi Ilahiyah memuliakan akhlak manusia tidak sebatas kehidupan di dunia saja, namun menerobos batas psikologis dan fisik manusia dengan mengabarkan kehidupan di akhirat yang mempunyai kesejajaran dengan akhlak dan perilaku manusia di dunia. Ia seolah mengabarkan hukum keseimbangan antar alam :

Amaliah = - Pahala = Surga atau Neraka

yang dapat dimodifikasi secara terbatas menjadi hukum keseimbangan benda Newtonian

Aksi = - Reaksi

Hukum-hukum diatas adalah apa yang bisa kita cerna dalam sistem kehidupan sebagai makhluk berpikir dan berperasaan. Hukum dasar diatas menjadi bagian dari kenyataan hidup yang dapat diformulasikan dengan tatapikir jasmani maupun ruhani yang seimbang, dengan akal inderawi maupun fitiyah yang seimbang, dengan kesadaran sebagai suatu entitas bakal mati (fana) yang disebut makhluk ciptaan Tuhan. Akhlak manusia karena itu menjadi inti persoalan dari setiap permasalahan yang dihadapi oleh manusia sejak dulu sampai dewasa ini, baik dalam skala individual, keluarga, komunal, maupun dalam lingkup yang lebih luas lagi sampai menyentuh dinding langit rumah kita bersama yang disebut pendiri CNN (Ted Turner) sebagai Global Village.

Al-Kursy

Krisis akhlak manusia secara individual dapat berakumulasi menjadi kecenderungan umum (trend) dan terefleksikan di setiap tingkatan kehidupan. Apa yang kita lihat sebagai krisis global saat ini sejatinya adalah refleksi dari krisis yang berakar dalam nafsu kita sendiri ketika kita menjalani kehidupan. Jadi, solusi setiap krisis sebenarnya sangat tergantung pada implementasi akhlak dan perilaku kita sendiri seperti diungkapkan pada kitab Al Qur’an kalau semua masalah manusia bermuara pada egosentrisme manusia sendiri. Karena itu pula dalam level praktis, Umat Islam diajarkan untuk membaca ayat al-Kursy (QS 2:255) karena ayat tersebut sejatinya mengandung hikmah tentang segala hal yang berhubungan dengan karakter manusia yang bisa jauh dari fitrah dasarnya hingga ia bisa menjelma jadi Syaiton dan Iblis.

Meskipun sangat gamblang, namun manusia nampaknya melalaikan dan mengabaikan fakta dan bukti kehidupan yang sangat penting ini sehingga tidak mengherankan kalau di setiap zaman permasalahan umat manusia sebenarnya itu-itu saja. Perbedaannya hanya dalam skala dan pengaruhnya karena mengikuti perkembangan budaya dan peradaban yang dialami manusia di ruang-waktu historisnya masing2.

Integralisme Di Global Village

Ketika Planet Bumi menjadi Global Village, dimana komunikasi dan jejaring kehidupan semakin kuat mengikat manusia dengan berbagai kepentingannya, maka kita melihat suatu dampak nyata bahwa antara satu masalah dengan masalah lainnya, antara satu krisis dengan krisis lainnya saling berhubungan. Krisis kejiwaan Osama bin Laden yang dibangun semasa Perang Afghanistan dan Soviet dgn mengatas namakan Islam berdampak dahsyat ketika ia melaksanakan niatnya untuk menghancurkan suatu negara yang dulu menjadi pelatih dan patronnya (AS). Demikian juga, krisis kejiwaan pada Presiden George Bush akibat aksi Osama bin Laden menunjukkan dampak yang nyata (anehnya justru Keluarga Bush dan bin Laden berbisnis bersama) pada kebijakan politik prakisnya yang berskala global. Krisis dan masalah justru semakin diperluas dan beringas ketika pemimpin dunia yang lainnya, entah solider atau memang punya kepentingan khusus, juga ikut-ikutan mengikuti gejolak nafsu Presiden Bush dengan kepentingan politik Anti Teroris-nya. Perang pun terjadi di Afganisthan, lantas berkembang ke Irak dan wilayah Timur Tengah bahkan ke bagian-bagian dunia lainnya yang mudah bergolak maupun yang tadinya adem ayem seperti di Bali. Entah disebut teroris atau bandit, pemerkosa hak atau penjajahan, normal atau psikopat, toh semua itu hanya sekedar labelisasi dan branding kebahasaan saja sebagai bukti nyata dan sah adanya ketidaksabilan jiwa dari pelaku-pelaku yang terlibat didalamnya. Baik telibat secara langsung, tidak langsung, sembunyi-sembunyi maupun emosional seperti masyarakat kebanyakan yang ikut-ikutan. Semua itu akhirnya bermuara pada benturan antara hawa nafsu dengan motif dan kepentingannya masing-masing yang dikira tersembunyi padahal sangat jelas dan gamblang kalau kita mau sejenak merenung lebih dalam menerawang isi hati dan nafsu kita sendiri.

Dunia pun menjadi lebih “mudah” membara dari sebelumnya ketika krisis bereskalasi menjadi konflik, dan menyebar menjadi wabah kematian. Baik kematian fisik maupun kematian jiwa sebagai manusia berakal. Di setiap zaman sampai sekarang barangkali sudah tidak tepat mengatakan “Tuhan sudah mati” seperti dikatakan Nietczhe tapi lebih cocok dikatakan kalau “banyak jiwa-jiwa manusia yang sudah mati” sehingga istilah manusia pun tidak merefleksikan dan mencitrakan pengertian luhur sebagai “makhluk yang menjadi citra Tuhan”, “Insana Fi Ahsaani taqwiim”, tapi menjadi manusia sebagai “binatang yang berpikir” atau “animale rationale’ seperti disinggung Mbah Plato 2500 tahun yang lalu. Jiwa manusia dalam keadaan yang mati akhirnya memang perlu dibangkitkan kembali kesadarannay, baik dalam tingkat kesadaran individual maupun komunal, sampai global dengan seruan-seruan dan tindakan-tindakan yang tentunya diharapkan menjadi ledakan big-bang baru untuk membangun realitas kehidupan baru yang lebih baik.

Angan-angan Kosong Beternak Uang

Kini kita hadapi krisis yang akarnya sama dengan krisis2 sebelumnya, karena memang merupakan hasil dari krisis2 manusia yg tak terselesaikan. Akumulasi krisis itu pun mencuat ke permukaan sebagai hasil dari kelalaian manusia ketika enggan membenahi cara ia hidup dan sistem kehidupannya. Krisis keuangan yang menggoyang AS menjalar bagai gelombang Tsunami Aceh mengelilingi dunia, atau bagai letusan Gunung Krakatau 125 tahun yang lalu (1883) yang asap debunya mengelilingi dunia 7 kali, dan tanpa ampun memporakporandakan pasar bursa banyak negara. Tidak di Barat maupun di Timur, di Selatan atau pun di Utara, masalah yang terjadi dari hasrat dan nafsu tamak manusia yg terjadi di Amerika Serikat untuk menikmati kesenangan dan “berangan kosong menjadi peternak uang bukannya ternak sapi beneran” dengan melakoni gaya hidup yang menurut Oprah disimpulkan sebagai “besar pasak daripada tiang” tiba-tiba meledak menjadi krisis keuangan yang menjurus ke krisis multi-dimensi di banyak negara. Lantas, gema ledakannya menjadi gelombang kejut yang sangat merusak, menjalar ke seluruh dunia, menggoyang lantai bursa, perusahaan-perusahaan, mengguncangkan jantung banyak manusia dan kemudian kembali menetap menjadi kondisi psikis manusia.

Baik di AS maupun di Indonesia, banyak dari kita untuk beberapa waktu sekarang ini seolah dieksitasi oleh gelombang kejut yang mendadak membuat hati kecut dan pikiran kusut. Letusan itu dimulai dari masalah sehari-hari yang dihadapi semua manusia yaitu ingin punya rumah. Caranya tentu dengan cara cicilan atau kredit. Namun, ketika setan-setan kredit memanipulasi tatacara yang benar dan sah, masalah berkembang menjadi kredit macet yang menjadi krisis keuangan. Tidak lama kemudian, krisis ekonomi mencuat di AS. Akhirnya masalah kredit rumah di AS yang semula sekedar riak gelombang hasrat manusia menjadi gelombang mengerikan. Itu baru terjadi di AS.

Tak lama kemudian, jika pihak2 yang berwenang maupun kita sendiri gagal untuk memahami krisis dan menanggulangi kerusakan akibat Big-Bang industri keuangan AS yang sudah bunting tua, masalah lain yang lebih dahsyat bisa muncul yaitu krisis ekonomi di banyak sektor kehidupan. Dan tidak lama kemudian, boleh jadi ketika ketidakstabilan jiwa para pemimpin dunia dan perumus kebijakan semakin parah, akan terjadi Proses Anti-Symetri yang mengguncangkan dunia dengan peperangan baru yang didasarkan atas kepentingan-kepentingan manusia yang dibuat-buat seolah nyata untuk mengatasi krisis. Padahal sama sekali bukan. Kita tentu tidak berharap kalau eskalasi krisis keuangan AS dan dunia berkembang ke jurang maut peperangan dengan dampak korateral yang tidak terbayangkan. Semua itu adalah Benturan Antar Kepentingan! Begitu Presiden Soekarno dulu menuliskan dunia pasca kolonialisme klasik di bukunya “Di Bawah Bendera Revolusi”. Dan semua itu adalah Benturan Hawa Nafsu! Begitu Nabi Muhammad SAW lebih dari 14 abad yang lalu menyiratkan masalah pokok kehidupan manusia. Dan hari ini masalah pokok Umat Mansia di dunia ternyata masih sama saja. Maka nampaknya ada kebenaran kita coba sejenak merenung aforisma tua yang dikenal di Timur Tengah sejak dulu bahwa “musuh terbesar manusia adalah nafsunya sendiri”.

Mesias

Dimasa krisis, setiap manusia sebenarnya mempunyai kepentingan untuk mengatasi krisis yang terjadi. Tentu saja saya tidak menyarankan Anda untuk mengaku-aku jadi nabi baru atau jadi Imam Mahdi atau Mesias atau jadi Ratu Adil dan nongol di televisi dengan urat mata melotot dan wajah kusut karena sakit jiwa dengan berteriak “punya obnat mujarab untuk mengatasi krisis”, lantas ditangkap polisi. Cukup dengan menyadari apa yang terjadi dan menyadari kemanusiaan kita dengan batasannya yang nyata maka eskalasi krisis sebenarnya dapat dibendung secara gradual dari diri kita sendiri dengan lahirnya kesadaran baru kita sebagai manusia, kehidupannya dan kebutuhan-kebutuhannya yang lebih optimal dan proporsional.

Saya memang menyarankan Anda menjadi Mesias, Imam Mahdi dan Ratu Adil bagi diri anda sendiri sehingga Anda bisa melahirkan fatwa dari qolbu Anda tentang apa yang benar dan salah dan bertindak tanpa mengabaikan saling-hubungan yang terjadi antara diri Anda sebagai individu maupun lingkungan sosial dimana Anda hidup. Caranya banyak. Misalnya dengan hidup lebih jujur, lebih dapat dipercaya, hemat dan proporsional ketika memenuhi kebutuhan hidup, menggunakan produk lokal dengan sadar bahwa hal ini penting bagi devisa dalam negeri, berbagi pengetahuan, lebih bekerjasama dalam mengatasi masalah, tidak mudah terkooptasi dengan informasi yang tidak jelas, banyak bertanya pada mereka yang memang mempunyai potensi untuk bisa memberikan saran untuk menemukan solusi mengatasi krisis, dan meluangkan waktu guna mencerna semua itu dengan penuh hikmah dan kesadaran baru yang lebih luas sampai Anda menemukan tindakan yang tepat bagi Anda saat ini (baik Anda saat ini hidup kekurangan, pas-pasan ataupun berlebihan).

Knowledge Base Society

Di zaman internet dimana pengetahuan sangat banyak dan membludak bagai hujan badai dari langit, sebenarnya setiap manusia dapat meraih dan menggunakan pengetahuan praktis untuk hidup lebih baik dalam tingkat potensi praktisnya masing-masing. Ini era Knowledge Base Society bung! Jadi, apa yang kurang saat ini ketika pengetahuan kebijakan maupun praktis bergelimang seolah tanpa harga kok manusia justru makin terpuruk kedalam kepanikan bahkan boleh jadi kejeblos lumpur keputusasaan ketika menghadapi suatu krisis? Jangan-jangan kita saat ini sebenarnya berkembang menjadi makhluk yang semakin PEMUAAALAS (kalau baca kata ini bayangkan Dian Sastro ngomong “Pemualasss” dengan bibirnya yang oke itu dimonyongkan, soale saya niru pengakuannya yang ditulis di blognya http://blog.diansastro.net) tanpa mau mempraktekkan pengetahuan yang ada bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Walhasil kita hari inipun condong menjadi makhluk konsumtif, tidak mandiri, egosentrik, manis-manja dan maunya serba instan saja sehingga mengabaikan semua petunjuk yang ada untuk mengatasi permasalahan2 yang “sering” terjadi.

Masalah yang terjadi saat ini, yang berhubungan langsung dengan salah satu instrumen kehidupan kita yaitu uang, memang perlu kita amati benar sebelum berdampak langsung dan membesar tak teratasi. Pencegahan memang perlu dan lebih setidaknya mesti lebih arif (dan tentu lebih bisa dinikmati sebagai intelectual exercise toh). Apalagi indikasinya jelas kalau cepat atau lambat krisis keuangan di AS akan menjadi krisis kita juga. Adalah keliru kalau kita mengabaikan informasi dan pengetahuan yang berkembang seolah-olah tidak berpengaruh dalam kehidupan kita. Meskipun secara fisik Amerika itu jauh dari Indonesia, atau katakan saja kita tak punya uang seperti orang Amerika, kehidupan kita hari ini sudah kompleks menjadi suatu jalinan yang rumit dengan umat manusia lainnya, dan satu sama lain, cepat atau lambat akan terkena dampaknya. Inilah fakta dari tamsil bagaimana manusia yang satu akan dipengaruhi oleh manusia lainnya ketika jejaring kehidupan manusia berkelindang bagai anyaman tikar yang mestinya bisa ditujukan untuk membangun kehidupan yang Rahmaatan Lil ‘Aalamin.

Peluang & Tantangan


Sekarang ini, bagi masyarakat Indonesia yang penting adalah sadar kalau krisis yang secara langsung kelak mempengaruhi nafsu perut kita telah terjadi di dunia. Dan kitapun tahu kalau krisis ini mungkin saja berkembang nendang kemana-mana dengan kemungkinan terburuk terjadinya peperangan antara pihak-pihak yang terkena krisis dan pihak yang sejak lama menjadi incaran untuk dilumpuhkan misalnya Iran yang tetap kekeuh dengan program nuklirnya.

Bagi Indonesia yang masih mempunyai banyak permasalahannya didalam, adanya krisis keuangan AS memang akan semakin memberatkan. Tapi, sebenarnya banyak peluang yang dapat dioptimalkan dalam situasi demikian. Tentunya bukan peluang dalam kesempitan orang lain atau kesusahan orang lain, tapi peluang untuk menengok kedalam dan melihat lebih jernih kalau sebenarnya banyak potensi yang kita punya masih belum optimal. Terutama potensi yang melibatkan kemampuan manusia Indonesia sendiri dengan sumber alamnya yang lalai dikelola dengan benar.

Peluang mengatasi krisis secara mandiri juga berpotensi untuk meruntuhkan emotional blocking yang sering membuat kita sendiri minder merasa jadi inlander dan sering mantuk2 didepan orang lain ketika mempunyai masalah. Krisis AS dan dunia Barat mestinya membuka mata bahwa barat yang hebat dan modern pun ternyata masih kena virus kebodohan akut yang bermuara dari kelalaiannya sendiri ketika membebaskan nafsu berbuat sesukanya tanpa kendali. Kebebasan ekspresi ala barat bukanlah sesuatu yang sempurna justru membangun neraka dunia (setidaknya sekarang merasa di neraka bagi yang terkena krisis langsung). Jadi, krisis di AS sebenarnya hanya bukti saja kalau mereka bukan bangsa super, mereka pun bukan super hero seperti yang sering dipertontonkan di film kartun atau pun film di bioskop2 yang mereka buat. Tidak ada Superman, Wonder Woman, Fantastic Four, Hellboys ataupun legiun super hero lainnya yang bakal muncul jadi Heroes. Mereka masih manusia juga yang doyan makan dan minum sembarangan, masih bisa lalai dan bodoh, bahkan menjadi dungu dengan angan-angan kosongnya menggembungkan kekayaan dan aset semu. Bagi saya mereka justru seperti penipu yang tertipu. Sistem ekonomi merekapun bukanlah sistem yang tidak tembus, malah cenderung banyak bolongnya sehingga predator-predator keuangan dengan mudah mencabik-cabik kenyamanan dan mempermainkan hidupnya.

Eskalasi Krisis

Eskalasi krisis yang nyata mungkin tidak berdampak langsung di Indonesia dalam jangka waktu dekat. Itu kata para ahli ekonomi. Tapi bagi saya, cepat atau lambat tidak ada bedanya. Malah saya melihat ancaman lain yang justru menjadi target utama sesungguhnya yaitu peperangan yang diciptakan diatas krisis yang sekarang sedang berlangsung. Masalah nuklir Iran yang sejak tahun lalu belum tuntas dan cenderung mengambang mungkin malah sengaja dibiarkan mulur-mungkret jadi pintu keluar kalau para pemimpin dunia ingin mengambil jalan pintas sekarep dewe.

Perdamaian dunia oleh tindakan masyarakat yang eling serta lembaga-lembaga dunia seperti PBB pun menjadi organisasi tanpa guna jika jalan pintas peperangan terjadi didalam kekacauan gelombang krisis keuangan. Diposisi yang mungkin kritis ini, barangkali Indonesia bisa juga berperanan banyak bagi dunia. Juga tokoh2 Indonesia yang diperhatikan pendapatnya sebagai representasi Bangsa Indonesia. Mungkin, ini saat yang tepat bagi tokoh-tokoh sepuh di Asia sekaliber Gus Dur (Nah, Gus kapan sampeyan berani maju keluar kandang jadi Peace-Maker Dunia? Mayan loh, sapa tau dapet hadiah Nobel Perdamaian), Mahatmir Muhammad, SBY dll. untuk lebih aktif mengingatkan pemimpin dunia yang kena krisis langsung, terutama negara2 G-7 maupun G-20 yang lagi kasak-kusuk mencari kunci solusi krisis, supaya tidak melenceng dari fokus mengatasi krisis yang terjadi tapi malah melenceng menjadi tindakan militer ke negara Iran yang masih bandel dan ngeyel dengan masalah nuklirnya dan sudah lama di incer2 untuk dilumpuhkan. Disamping itu, gerakan “World Peace Movement” juga nampaknya mesti segera bangun dari tidurnya dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih aktif dan nyata (terutama di negara2 yg terkena dampak langsung krisis) yang menyejukkan supaya pemimpin dunia yang selama ini diharapkan tindakannya tidak kehilangan kewarasannya.

Tidak ada komentar: