Jumat, 20 Juni 2008

Mengapa Masa Depan Milik Islam? [1]




Majalah Maclean, Kanada, menghadapi kasus hukum karena tulisan kebencian kepada Islam. Tapi di Amerika, menghina agama minoritas dilindungi konstitusi. Ini ditiru kaum liberal Indonesia. Mengapa polisi tak obyektif dalam kasus Monas?
Oleh: Amran Nasution

ImageHidayatullah.com--Para pejabat Amerika selalu mendamprat pejabat China karena dianggap salah urus ekonomi. Mulai sistem subsidi, regulasi investasi asing, sampai pematokan nilai mata uang Yuan. Tapi itu dulu. Kini posisi berubah.

Para pejabat senior China secara terbuka mengecam cara Amerika menangani ekonominya – dengan kapitalisme laissez-faire –dan mereka berani membela sistem ekonominya yang ditandai adanya regulasi. Seperti ditulis sebuah artikel di The New York Times, 17 Juni lalu, para pejabat China menuduh Amerika hipokrit: mengajari mereka tentang ekonomi tapi pertumbuhan ekonomi negerinya sendiri stagnan. Sementara ekonomi China justru tumbuh sangat tinggi.

China mendamprat Amerika dalam skandal kredit perumahan (mortgage) yang menyeret dunia ke dalam krisis. Utusan China di World Trade Organization (WTO) mengecam Amerika karena tak bisa menahan kemerosotan nilai dollar yang memacu kenaikan harga minyak dan pangan dunia. Amerika dituduh bersikap bermusuhan dan diskriminatif karena menghambat perusahaan China membeli saham perusahaan Amerika yang goyah diguncang krisis.

Pendek kata, China berani mengatakan sistem ekonominya terbukti lebih baik dari Amerika Serikat. Karena itu pula mereka tak akan meniru sistem demokrasi Amerika Serikat. Liao Min, salah seorang pejabat perbankan China malah berkata kepada koran The Financial Times, Mei lalu, “Konsensus Barat dalam hubungan pasar dengan Pemerintah, harus dikaji-ulang.’’ Sesuatu yang sebenarnya sudah lama disuarakan para ahli ekonomi Amerika sendiri seperti Profesor Joseph Stiglitz atau Profesor Paul Krugman, para pengeritik kapitalisme atau neo-liberalisme.

Ketika terjadi gempa dahsyat di Provinsi Sichuan, mobilisasi tentara China terbukti sangat cepat ke daerah bencana. Bandingkan dengan loyonya Pemerintah Federal pimpinan Presiden Bush menghadapi serangan Badai Katrina, sehingga korban jatuh bertambah banyak.

Pendek kata Amerika sekarang memang payah. “Di mana saja di dunia, kredibilitas Amerika Serikat dan kredibilitas pasar uangnya sekarang nol (zero),’’ kata Joseph Stiglitz, Profesor Ekonomi dari Columbia University, seperti dikutip The New York Times tadi. Pemenang nobel ekonomi 2001 itu, sejak lama dikenal kritis kepada Amerika Serikat dan sering memuji ekonomi China.

Paul Krugman, Guru Besar Ekonomi Princeton University dan Kolomnis The New York Times, sering menyoroti sistem ekonomi Amerika yang katanya menyebabkan 0,01% orang terkaya bertambah kaya sementara yang lain stagnan atau bertambah miskin. Orang-orang kaya itu, begitu kayanya, sampai mampu ‘’membeli’’ partai politik.

Awal Juni lalu, sebuah sub-komisi di DPR Amerika Serikat melaporkan bahwa anti-Amerikanisme di dunia kini mencapai level tertinggi, terutama di negara Muslim dan Amerika Latin. Laporan itu dibuat berdasarkan sejumlah survei dan pendapat para ahli.

“Kekuatan militer kita tak dianggap jaminan keamanan, melainkan ancaman. Tak dianggap garansi stabilitas dan ketertiban tapi sumber intimidasi, kekerasan, dan penyiksaan,’’ kata Bill Delahunt, Ketua Sub-Komisi Organisasi Internasional, HAM dan Pengawasan, DPR.

Laporan itu menyebutkan bahwa semua terjadi karena Perang Iraq, dukungan Amerika kepada sejumlah rezim represif, sikap bias Amerika dalam konflik Israel-Palestina, serta penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan kepada para tahanan (di Guantanamo dan sejumlah penjara rahasia).

Laporan itu juga menyimpulkan di dunia Islam tumbuh persepsi yang meyakinkan bahwa perang melawan teror telah digunakan Amerika Serikat untuk menghancurkan Islam. Semuanya memperluas dan memperdalam sikap anti-Amerikanisme (lihat artikel Alice Ritchie, AFP, 11 Juni 2008).

Di Timur Tengah wibawa Amerika sudah rontok. Perundingan Israel dengan kelompok Hamas terjadi dengan Mesir sebagai penengah. Sedang pertemuan Suriah dengan Israel berkat difasilitasi Turki. Amerika sudah ditinggalkan.
Meski demikian Pemerintah Indonesia tetap berkiblat ke Amerika. Para ekonom Presiden SBY adalah penganut sistem ekonomi neo-liberal: Budiono, Sri Mulyani, Marie Pangestu, Purnomo Yusgiantoro, dan beberapa yang lain.

Karena itulah harga BBM dinaikkan, sehingga pompa bensin milik kapitalisme global bisa bersaing bebas dan menghancurkan pompa bensin milik pribumi kita (lihat Laissez-Faire Pak SBY, Laissez-Faire, www.hidayatullah.com, 21 dan 22 Mei 2008).

Sekarang ladang minyak kita sebagian besar dikuasai perusahaan asing, terutama dari Amerika Serikat, seperti Exxon-Mobil, Shell-Penzoil, Total-Fina-Elf, BP-Amoco-Arco, dan Chevron-Texaco. Perusahaan itu dikabarkan menguasai lebih 70% ladang minyak dan gas Indonesia.

Presiden SBY menyingkirikan Pertamina, perusahaan milik sendiri, untuk memenangkan Exxon-Mobil, perusahaan Amerika, dalam menguasai proyek minyak dan gas yang amat menguntungkan di Blok Cepu. Wajar SBY menjadi teman dekat Presiden George Bush.

Wajar pula kalau dalam setiap demo anti-kenaikan BBM di mana saja, selalu ada poster menuntut penyitaan atau pengambil-alihan aset negara yang dikuasai asing. Pemerintahan SBY-JK dinilai sangat sukses melayani kepentingan asing di Indonesia, terutama Amerika Serikat.

Amerika Bentuk Densus 88

Selain ekonomi, Indonesia berkiblat ke Amerika dalam politik. Sistem pemilihan langsung yang kita lakukan sekarang meniru Amerika, dan itu biayanya amat-sangat mahal. Namun itu bisa terlaksana karena pemilihan Bupati, Gubernur, dan Presiden, berlangsung dalam sistem keuangan yang tertutup.

Mestinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merekam telepon para calon Bupati sampai Presiden, beserta Tim Suksesnya, baru ketahuan dari mana sebenarnya dana politik itu berasal. Tapi KPK tak akan ke sana. Percayalah. Akibatnya sistem politik Indonesia terus dihidupi dengan cara-cara korupsi dan melawan hukum (baca Membuka Topeng Negara Gagal, www.hidayatullah.com, 17 dan 23 April 2008).

Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta tak segan menyampuri soal Ahmadiyah dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang bentrok dengan kelompok FPI di Monas, 1 Juni 2008.

Campur tangan Kedubes Amerika merepotkan FPI, soalnya, Kepolisian selama ini mendapat dana bantuan dari Amerika Serikat. Menurut Majalah Far Eastern Economic Review (FEER), 13 November 2003, Pemerintah Amerika mengeluarkan dana 16 juta dollar (sekitar Rp 150 milyar) untuk membentuk dan melatih Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-Teror Polri. Laporan yang sama ditulis Warta Kota, 12 November 2003, dan The Jakarta Post, 6 September 2004.

Menurut berita itu, detasemen khusus anti-teror difasilitasi berbagai peralatan dan persenjataan canggih. Malah guna mobilitas pasukan, detasemen dilengkapi Amerika dengan pesawat angkut khusus C-130.

Belum cukup. Congressional Research Service (CRS), lembaga riset Kongres Amerika Serikat, dalam laporan tahun 2005, menyebutkan secara terperinci dana yang dikeluarkan Pemerintahan Presiden Bush kepada polisi Indonesia dan pasukan anti-terornya.

Dari situ diketahui bahwa setiap tahun POLRI menerima bantuan dari Amerika Serikat, tahun 2004 sebesar US$ 5.778.000, tahun 2005, US$ 5.300.000, dan pada tahun 2006, sebesar US$ 5.300.000 (sekitar Rp 50 milyar).

There is no free-lunch. Tak ada makan siang yang gratis. Karena Kedubes Amerika Serikat memihak Ahmadiyah dan AKKBB, maka tokoh kelompok Front Pembela Islam (FPI) yang ditahan polisi seperti Habib Riziek Shihab, Munarman, dan kawan-kawan, memang mendapat masalah. Mereka tergolong kelompok anti-Amerika. Munarman adalah tokoh yang paling ngotot berkampanye mengusir proyek NAMRU-2 milik Angkatan Laut Amerika, dari Indonesia.

Independensi polisi dari pengaruh Kedubes Amerika Serikat menjadi tanda tanya besar. Misalnya, pengacara Mahendradatta dari Tim Pembela Muslim (TPM) mengherankan prioritas polisi dalam menangani peristiwa Monas. Kalau berdasarkan hukum, mestinya yang menjadi prioritas adalah pria berpistol yang menggunakan kostum AKKBB. ‘’Ancaman hukuman kasus senjata api itu seumur hidup, paling berat,’’ kata Mahendradatta.

Nyatanya walau kasus itu sudah dilaporkan FPI, polisi sampai sekarang belum menangkap pria berpistol. Polisi hanya sibuk menguber orang-orang FPI yang dituduh terlibat penganiayaan dengan ancaman hukuman hanya 5 tahun penjara, jauh lebih ringan dari urusan senjata api. Polisi sibuk mencari-cari pasal pidana agar bisa menangkap dan menahan Habib Riziek Shihab. [berlanjut.../www.hidayatullah]

Penulis adalah Direktur Institute for Policy Studies


Tidak ada komentar: