Minggu, 20 Juli 2008

Negara Tidak Boleh Kalah

Dalam kesempatan jumpa pers Senin 2 Juni 2008 sehari setelah insiden Monas 1 Juni 2008 , dengan mimik serius dan nada tinggi, presiden menyatakan, “Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan. Negara harus menegakkan tatanan yang berlaku untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.”Negara tidak boleh kalah menjadi pesan penting presiden SBY saat itu.

Memang terbukti negara saat itu menunjukkan kekuataan dan kegagahannya. Polisi yang menjadi alat negara segera menggelar jumpa pers. Munarwan ’sang panglima’ diultimatum untuk menyerahkan diri. Ribuan polisi dengan puluhan truk dan bus beratribut lengkap dikerahkan . ‘Para terdakwa’ insiden monas diambil dari Petamburan, markas FPI bagaikan teroris kelas kakap. Habib Riziq yang sengaja dengan baik hati mengantar anggotanya pun turut ditangkap. Padahal pada mulanya Habib ke Mapolda bukan untuk ditahan, karena memang tidak ada bukti. Namun memang harus ada yang dikorbankan oleh negara . Lagi-lagi, negara memang harus membuktikan dirinya tidak kalah menghadapi aktivis Islam yang memperjuangkan dan membela aqidah Islam .

Berhadapan dengan kepentingan umat Islam dan aktivis Islam memang negara sepertinya selalu kuat dan tidak terkalahkan. Di masa orde lama Soekarno memberangus Masyumi, pejuang Islam ditangkapi dan dijebloskan ke penjara . Dimasa orde Baru siapapun aktivis Islam yang mengkritik Soeharto akan dijebloskan dan disiksa di penjara. Jangan coba menyerukan syariah Islam, anda dianggap subversif dan pemberontak, padahal syariah Islam merupakan Aturan Agung Allah SWT. Darah umat Islam pun menjadi halal dihadapan negara sekuler yang kuat. Darah kaum muslimin tertumpah dalam berbagai peristiwa menyedihkan di Tanjung Priok, Lampung, Maluku, menjadi bukti kuatnya negara. Darah mereka yang syahid fi sabilillah karena memperjuangkan dan membela aqidah Islam .

Tidak jauh beda dengan sekarang. Negara atas nama perang melawan terorisme melakukan apapun untuk membuktikan keperkasaannya. Perang dibawah pimpinan negara teroris Amerika Serikat melegalkan apapun untuk memerangi Islam dan umat Islam. Berbagai rekayasa dan konspirasi dibuat untuk melegalkan perang ini. Aktivis Islam pun menjadi target. Biasanya dengan ciri-ciri berjenggot, dahi hitam, dan istri berjilbab. Penculikan, penyiksaan, sampai pembunuhan menjadi sah-sah saja untuk membuktikan kekuatan negara memberangus umat Islam yang masuk dalam daftar CIA dan Mossad sebagai teroris. Urusan hukum dan pengadilan tidak lagi menjadi penting.

Negara pun menjadi sangat kuat dihadapan rakyat yang lemah. Atas nama keindahan kota, perumahan kumuh pun digusur. Tanpa peduli , rakyat terpaksa tinggal di rumuh kumuh karena negara tidak perduli. Negara lewat aparat yang beringas atas nama tugas negara menghancurkan lapak-lapak pedagang kaki lima yang tergusur oleh supermarket asing. Negara memang tidak pernah kalah dihadapan rakyat lemah.

Negara juga menjadi sangat kuat kalau menyangkut kepentingan rakyat yang dianggap mengancam kepentingan asing . Tidak perduli rakyat menjerit, kehidupan semakin berat, angka kemiskinan semakin tinggi , stress dan angka bunuh diri meningkat, negara tetap saja ngotot menaikkan BBM. Demi mengikuti ‘fatwa’ Konsensus Washington yang mengharamkan subsidi , Negara dengan beringas mencabut subsidi untuk rakyat. Negara menjadi sangat kuat dihadapan rakyat lemah .

Namun sayang seribu sayang , sebaliknya, negara hampir bisa dipastikan selalu kalah kalau berhadapan dengan kepentingan negara kapitalis yang menjadi Tuannya , perusahaan multinasional dan para pemilik modal besar . Kekalahan negara tampak jelas. Ironisnya kekalahan ini dilegalisasi undang-undang. Lihatlah berbagai undang-undang neo liberal pasca reformasi yang lebih berpihak pada negara dan perusahaan kapitalis. Amin Rais dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia, secara gamblang menggambarkan kekalahan ini. Kekalahan negara yang disengaja ini bahkan dilegalisasi. Pemaparan dibawah ini banyak diambil dari buku penting tersebut.

Di sektor perbankan, negara sengaja mengalahkan dirinya. Atas nama liberalisasi sektor perbangkan , pihak asing diberikan kesempatan yang sangat luas dalam perbankan nasional. Dan itu dilegalisasi undang-undang. Pasal 22 ayat 1b UU Perbankan membebaskan warga negara asing dan badan hukum asing untuk bermitra dengan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia mendirikan Bank Umum. Dan sangat menyedihkan, dengan UU ini pihak asing bisa memiliki hingga 99% saham bank di Indonesia. Dan sekarang proses itu sedang terjadi. Saat ini 6 dari 10 perbankan terbesar di Indonesia kepemilikan mayoritasnya dikuasai asing. Tanpa berpikir terlampau rumit, setiap orang pasti tahu bahaya apa yang terjadi pada negara ini kalau sektor keuangannya dikuasai asing.

Di sektor Migas dan pertambangan lainnya tidak kalah parahnya. Negara kalah total berhadapan dengan perusahaan multinasional yang rakus. Saat ini menurut pakar ekonom yang kritis dan cerdas Dr Hendri Saparini lebih dari 90% dari 120 kontrak production sharing kita dikuasai korporasi asing. Dari sekitar satu juta barrel perhari Pertamina hanya memproduksi sekitar 109 ribu barrel, sedikit diatas Medco 75 ribu barrel. Sebaliknya produksi terbesar adalah Chevron sekitar 450 ribu barrel perhari. Tambang minyak dan gas yang sebenarnya dalam pandangan syariah Islam ini merupakan milkiyah ‘amah (milik rakyat) dijual kepada asing. Blok Cepu yang memiliki kandangan gas dan minyak yang luar biasa diserahkan ke Exxon Mobil. Bahkan Blok Natuna yang kaya gas, Indonesia hanya dapat 0 %, ’selebihnya’ dikuasai penuh Exxon Mobil.

Ironisnya negara mengalahkan dirinya sendiri lewat UU Migas. Berdasarkan UU Migas ini pemain asing boleh masuk sebebasnya dari hulu sampai hilir . Pertamina tidak lagi menjadi pemain tunggal. Atas nama liberalisas dan kompetisi, pertamina yang sengaja dibusukkan harus berhadapan dengan perusahan minyak besar dunia dengan keuangan yang tak terbatas plus lobi politik tingkat tinggi. ” Seperti membiarkan anak kita yang masih lemah harus berebutan makan dengan anak kampung luar yang kuat dan jumlahnya banyak,” ujar jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto. Walhasil hampir sebagian besar kontrak baru pasca reformasi dimenangkan oleh perusahaan asing bukan pertamina.

Negara yang kalah, tampak jelas dalam UU Migas No 22 tahun 2001 pasal 22 ayat 1. Dalam pasal itu dijelaskan badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil minyak dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Lihat kata-kata paling banyak (maksimal) 25 % , konyol sekali bukan ? justru negara mengalahkan dirinya sendiri. Untungnya, pasal ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Namun jelas ini menunjukkan UU ini untuk kepentingan asing. Kekalahan demi kekalahan negara terjadi ditambang emas, batu bara, timah dan yang lainnya.

Kekonyolan lain dari kekalahan negara bisa kita lihat dalam UU no 25/2007 tentang Penanaman Modal. Berdasarkan UU itu tidak dibedakan antara pemain asing dan pemain lokal atas nama free market dan WTO . Akibatnya sangat menyedihkan, pasar kita dari segala sektor diserbu asing tanpa perlindungan berarti dari negara. Pasar tradisional digusur hypermarket asing. Telkom yang strategis dijual murah ke Temasek BUMN Singapura (yang kemudian menjualnya ke Q-tel dengan keuntungan berlipat). Pasir Riau pun dijual ke Singapura yang wilayahnya semakin luas . Sektor pendidikan pun dijual ke asing. Ironisnya kemungkinan mengembalikan sektor migas dan pertambangan lainnya kepada rakyat pun dipersulit. Pasal 7 ayat 1 dan 2 malah menghalangi ‘nasionalisasi’ dengan berbagai aturan yang menyulitkan dan merugikan negara sendiri .

Sementara dibidang politik dan keamanan, negara juga selalu kalah kalau berhadapan dengan tekanan dan kepentingan negara kapitalis. Indonesia sangat patuhnya mengikuti intruksi AS dalam perang melawan terorisme. Seolah-olah lupa AS justru adalah negara teroris terbesar dan paling biadab di dunia. Tanpa malu , negara lewat aparatnya menggadaikan keamanan negara ini dengan membiarkan LSM-LSM komprador mengacak-acak Indonesia.

Perjanjian DCA antara Indonesia-Singapura pun nyaris digolkan kalau tidak dikritik oleh banyak pihak. Padahal perjanjian ini jelas-jelas mengancam keamanan Indonesia. NAMRU 2 yang oleh dr Jose Rizal (Mercy) disebut pangkalan militer AS di jantung Jakarta, justru dipertahankan oleh para antek yang ada di istana negara dan DPR. Padahal Menkes yang berani – Bu Siti Fadilah- sebagai user sudah jelas-jelas mengatakan NAMRU tidak dibutuhkan lagi.

Negara pun selalu kalah dihadapan pemilik modal besar. Para koruptor BLBI yang merugikan masyarakat dan negara malah dihadiahi Release and Discharge (R&D), membebaskan para konglomerat dari tuntutan. Padahal negara lewat BLBI rugi sekitar 200 trilyun. Para koruptor kelas kakap ini malah diundang ke negara. Negara menjadi sangat lemah. Sangat berbeda kalau dihadapan rakyat kecil negara sangatlah kuat.

Kesimpulannya bagi para komprador, memang negara tidak boleh kalah kalau berhadapan dengan aktivis Islam . Negara tidak boleh kalah kalau berhadapan dengan rakyat lemah nan miskin. Sebaliknya negara wajib mengalahkan dirinya kalau berhadapan dengan negara-negara Kapitalis, perusahaan multinasional, dan kaum pemilik modal besar. Perkara inilah yang harus dilawan dan tidak boleh dibiarkan.

Sudah seharusnya Negara lemah lembut dan berpihak kepada rakyat . Negara seharusnya mendukung umat Islam dan perjuangan penegakan syariah Islam yang akan memberikan kebaikan bagi bangsa dan negara ini. Inilah yang harus menjadi tugas kepala negara. Imam Al Mawardi menjelaskan dalam al Ahkam ash Shultoniyah tentang tugas kepala negara ini antara lain : menegakkan hukum sehingga orang yang zalim tidak dapat berbuat aniaya dan yang dizalimi tidak dilemahkan, menjaga negara dan stabilitas negara agar rakyat bisa bekerja dan berpergian dengan aman, membentengi perbatasan dengan persenjataan dan kekuatan yang mampu mengusir musuh.

Sebaliknya negara tidak boleh kalah dihadapan negara Kapatalis dan antek-anteknya yang telah menjual dan menghancurkan negara ini. Merekalah musuh sejati negara yang harus dikalahkan. Untuk itu bangsa ini bukan hanya butuh pergantian pemimpin 2009 tapi juga membutuhkan pergantian sistem. Seruan “Ganti Sistem-Ganti Rezim” , para ulama,tokoh, dan intelektual yang bergabung dalam FUI (Forum Umat Islam) patut kita perhatikan . Pergantian Dari sistem Kapitalis yang mengsengsarakan rakyat, menjadi syariah Islam yang memberikan kebaikan pada rakyat. Inilah hakekat kemerdekaan sejati bangsa dan negara ini. (Farid Wadjdi http://hizbut-tahrir.or.id/)

Tidak ada komentar: